Beberapa waktu belakangan ini ekonomi Indonesia menghadapi masalah yang cukup krusial. Kualitas pertumbuhan menurun, industrialisasi meredup, jurang di kaya dan si miskin melebar, dan upaya pemberantasan korupsi yang membebani dunia usaha mengendur.
Untuk membahas masalah ini, Bincang Bhinneka menghadirkan ekonom senior Faisal Basri dalam sebuah dialog dengan budayawan sekaligus Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis (GBN) Erros Djarot. Berikut bagian pertama dari perbicangan tersebut:
Erros Djarot (EDJ): Kali ini sangat istimewa temanya karena banyak dibicarakan masalah ekonomi yang kenyataannya pada hari ini makin memperlebar jurang mereka yang miskin dan kaya. Dalam bincang kali ini saya kedatangan seorang sahabat yang kita kenal sangat kritis, Faisal Basri.
Kalau orang mengeritik pemerintah langsung digolongkan kepada mereka yang tidak suka Presiden Jokowi. Ini tidak ada urusan itu.
Kita dengar dari pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, selalu mengatakan ekonom baik-baik saja. Namun mas Faisal mengatakan bahwa ekonomi kita tidak baik-baik saja, terutama pelaksanaan Pasal 33 UUD 45. Tapi sebelumnya silakan berikan ilustrasi mengenai jurang yang semakin melebar antara yang kaya dan yang miskin. Tanpa memojokkan siapa-siapa, yang kita sodorkan hanya data. Silakan mas Faisal buka dulu.
Faisal Basri (FB): Kalau baik-baik saja, tidak ada satgas-satgas [satuan tugas] yang banyak itu. Jadi ada proses yang tidak jalan di birokrasi, ada menko [Menteri coordinator]. Jarang sekali ada negara yang mempunyai menko tapi belum beres-beres juga.
Mungkin perlu ada telaah kritis tentang apa yang sedang terjadi. Jadi faktanya, [pertama] ekonomi itu pertumbuhannya melambat terus. Ibarat lari kecepatannya makin lambat. Bukan di era Presiden Jokowi saja. Sebelum krisis [1998] berada di 8-an [persen], lalu 7. Di era Pak SBY 6, di era Pak Jokowi [periode] satu 5, di era Pak Jokowi [periode] 2 sebesar 4,5-4,6 saja. Turun terus. Nah itu kan aneh.
Kedua, ekonomi tumbuh tapi turun, makin tidak berkualitas tumbuhnya itu karena gagal untuk menciptakan lapangan kerja yang bermutu. Sekarang orang yang bekerja itu sebagian besar adalah pekerja informal. Kalau pekerja informal gajinya tidak teratur, tidak ada jam kerja, tidak ada jaminan hari tua, dan sebagainya.
EDJ: Pakai oursourcing itu ya?
FB: Ditambah outsourcing segala macam, itu yang memicu. Kemudian yang berikutnya, tulang punggung ekonomi.
EDJ: Stop dulu mas. Saya berangkat dari angka. Tadi penurunannya itu dinyatakan secara resmi oleh mas Faisal sebagai pengamat. Ini ada datanya ya? Anehnya, sementara pertumbuhan itu turun terus, tapi di sisi lain, turunnya itu sangat dirasakan oleh kelas bawah. Sementara di tingkat elit tertentu justru meningkat kekayaannya. Ini mungkin nanti bisa dijelaskan dulu korelasi antara penurunan pertumbuhan tidak sejajar dengan pertumbuhan kekayaan kelompok tertentu.
FB: Pertama, data orang yang hidup pas-pasan. Orang miskin memang turun terus walaupun penurunannya itu melambat. Sudah di bawah 10 persen jumlah orang miskin, di 9 persen, 10 persen lebih sedikit. makin susah turunnya, ini kerak kemiskinan. Tapi yang tidak miskin tidak berarti berkecukupan.
Ada miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin. Nyaris miskin itu kalau ada kenaikan harga saja dia tidak mampu menutupinya. Kalau saya gabung nih—miskin, nyaris miskin, rentan miskin—itu jumlahnya 60,6 persen.
EDJ: Wow, itu dua pertiga [total penduduk].
FB: Hampir dua pertiga. Pak Jokowi sudah tahu. Waktu saya bantu Bappenas sudah disampaikan kepada Pak Jokowi. “Oh banyak juga ya,” kata Pak Jokowi.
Sementara kalau kita lihat jumlah orang kaya meningkat terus. Jumlah orang kaya yang kekayaannya di atas 1 juta dolar AS— data dunia dibandingkan dengan negara-negara lain—meningkat terus dari 116.000 orang menjadi 171.000 orang setelah [pandemi] Covid-19.
Yang berikutnya adalah, ini data jarang dipakai orang, tetapi buat saya sangat menarik. Tabungan, yang kalau ada [memiliki] tabungan berarti tidak miskin, yang dibagi beberapa golongan. Golongan pertama kurang dari Rp100 juta, termasuk di dalamnya yang tabungannya hanya Rp10.000, Rp100.000 semua di situ. Kelompok tabungan Rp100 juta-200 juta, Rp200 juta-Rp500 juta, dan seterusnya sampai di atas Rp5 miliar.
Nah, 90 persen lebih rekening tabungan masyarakat itu di bawah Rp100 juta dan jumlah rekeningnya naik terus, tapi nilai tabungannya cuma 12 persen dari seluruh nilai tabungan [nasional]. Yang menarik mengapa orang yang mempunyai tabungan di bawah Rp100 juta malah naik?
Kita cek tabungan yang Rp100juta – Rp200 juta dan Rp200 juta – Rp 500 juta turun nilainya gara-gara [pandemi] Covid-19 dan segala macam mereka sudah mulai makan tabungan. Tabungannya menyusut dari semula di atas Rp200 juta, di bawah Rp500 juta, sekarang di bawah Rp100 juta. Ini yang banyak dialami oleh kelas menengah.
Sementara itu, jumlah rekening yang di atas Rp5 miliar sebanyak 0,03 persen dari total rekening tetapi jumlahnya di atas 50 persen. Ini dalam bentuk tabungan, deposito, giro. Ini kelihatan nyata.
Kemudian kalau kita lihat mengapa kelas menengahnya melemah. Biasanya di negara-negara yang kelas menengahnya kuat, demokrasinya kuat itu kaum pekerja. Lech Walesa di Polandia, Lula di Brasil dan sejumlah negara lain, itu karena industrinya kuat. Industri itu hampir semua pekerjanya formal. Ada gaji, dipotong pajak. Yang bikin sehat ekonomi itu kalau industri sehat. Tulang punggungnya itu tegak, gak bengkok.
Nah Indonesia tulang punggungya bongkok. Industri kita melemah terus, dari 30 persen sumbangannya kepada ekonomi sekarang tinggal 18,3 persen dari total ekonomi Indonesia. Jadi kan kita bingung. Pak Jokowi, Pak Luhut, Pak Menteri Perindustrian, pokoknya pada pejabat ekonomi itu mengatakan investasi smelter, investasi mobil listrik lah, pokoknya investasi-investasi.
EDJ: Tapi faktanya? Nah temen-temen, ini menarik, kita sering dengar bahwa pertumbuhan naik terus, kesejahteraan meningkat terus tapi secara data tidak begitu. Kira-kira yang salah apa sih. Pasti ada yang salah, salah kelola, salah desain, atau salah pelakunya. Penjelasannya bagaimana?
FB: Ini sudah lama saya sampaikan, salah diagnosis. Karena kalau salah diagnosis, dokter salah diagnosis, bisa salah kasih [memberi] obat.
EDJ: Padahal ini dengan diagnosis yang salah sudah diberi obat dan suntikan.
FB: Suntikannya tidak manjur karena penyakitnya apa, diobatinnya apa. Kalau ditelusuri lebih jauh, waktu Pak Jokowi menang Pilpres yang pertama itu, bertekad ingin menghentikan tren penurunan pertumbuhan ekonomi. Dia bilang tahun pertama saya akan meroket (sambil melesatkan tangan ke atas). Faktanya tambah turun pada era Pak Jokowi [periode] satu. Nah di situ lah mulai salah diagnosis.
Pak Jokowi menganggap, terbuka ada statementnya di sidang kabinet, dia mengatakan begini “sebetulnya tubuh ekonomi Indonesia sehat-sehat saja, bahkan dianalogikan jantung kuat, tekanan darah bagus, suhu badan bagus tetapi kok kita gak bisa lari kencang ya. Pak Jokowi menyadari itu.
EDJ: Stop dulu. Ini menarik karena Pak Jokowi menyampaikan sesuatu yang sebetulnya bukan bidang dia.
FB: Tapi itu di sidang kabinet.
EDJ: Artinya, ada input ke dia [Jokowi] yang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja, semua meningkat dan seterusnya. Ya Pak Jokowi menyampaikan hasil, temuan atau apapun yang dilaporkan ke dia. Kan begitu? Berarti ada penyesatan dong ini?
FB: Ya saya takutnya begitu.
EDJ: Kami ini pendukung Jokowi. Tapi ingin ngomong apa adanya untuk perbaikan. Kita justru menolong. Pak Jokowi mungkin tidak diberi masukan yang benar. Nah ini mungkin salah satu yang kita coba [beri masukan].
FB: Semua ini ada beritanya. Datanglah nih pembisik. Pak, investor khawatir menanamkan uangnya di Indonesia karena takut ditangkap KPK. Itu Moeldoko. Saya sebut Namanya, ada beritanya. Jadi biang keladinya KPK nih yang suka nangkep-nangkep pengusaha. Kan waktu itu [ditangkap] Hartati Murdaya. [lapor ke Jokowi] investor takut Pak. Kalau begitu lemahkan KPK.
EDJ: Solusinya itu berdasarkan laporan itu Pak Jokowi berkesimpulan wah ini biang keroknya KPK?
FB: Pertama kali di periode kedua Jokowi yang dilakukan adalah melemahkan KPK
EDJ: Itu memang berdasarkan masukan-masukan tadi ya?
FB: Ya. Ketua Umum Kadin yang sekarang jadi Dubes RI di Amerika juga mengatakan begitu, pengusaha takut ditangkap KPK.
EDJ: Kita coba berpikir secara konspiratif. Jika kemudian Ketua Kadin ngomong seperti itu apa latar belakangnya? Pasti ada desainnya. Ada udang di balik batu.
FB: Ya barangkali pengusaha-pengusaha yang suka nyogok. Kalau pengusaha asing yang bikin mereka gak mau datang ke Indonesia karena korupsi, itu nomor satu. Kedua, pemerintahan yang tidak efisien. Senang orang asing itu, karena mereka tidak bisa nyogok. Di negaranya ada aturan, nyogok di luar negeri pun kena [hukuman].