Banyak orang terjebak ke dalam politik dan ekonomi pasar bebas justru setelah reformasi yang diperjuangkan dengan gegap gampita oleh rakyat Indonesia 25 tahun lalu. Etika bernegara anjlok ke tingkat bawah saat ini. Ditambah lagi dengan makin dekatnya hajatan politik 5 tahunan, sejumlah tokoh, pimpinan partai dan para politis melakukan manuver untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Tidak sedikit yang menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Untuk membahas masalah ini, gbn.top mewawancarai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama Jimly Asshiddiqie. Berikut bagian pertama dari rangkuman wawancara tersebut:
gbn.top: Belakangan ini Presiden Joko Widodo blusukan ke parpol-parpol. Bagaimana melihat fenomena ini dikaitkan dengan etika politik? Bukankah perwujudan etika politik membutuhkan contoh perilaku dari para pemimpin bangsa sebagai panutan bagi masyarakat?
JA: Ya, belum banyak yang menyadari bahwa pemimpin itu soko guru. Guru juga adalah pemimpin, pemimpin adalah guru. Makanya, Nabi Muhammad SAW bersabda, “apabila kamu bertiga berpergian. Satu harus diangkat jadi pimpinan. Konghucu 551 Tahun SM jadi jarak 1.100 tahun dari Nabi Muhammad, itu pernah bilang juga seperti itu. Kalau kamu bepergian bertiga, satu angkat jadi guru. Maka, saya selalu mengkonstruksi pengertian pemimpin itu guru, yang digugu dan ditiru. Jadi tugas dia mendidik bangsa ini memberi pencerahan dengan sikap dan perilakunya. Jadi tiga fungsi utama pemimpin itu [adalah] system building, kemudian komunikasi, dan yang ketiga itu mendidik, memberi pencerahan.
Jadi banyak sekali orang sesudah reformasi, 25 tahun ini, tiba-tiba terjebak ke dalam politik pasar bebas dan ekonomi pasar bebas. Pasar jabatan dan pasar kekayaan. Sama itu, sama-sama pasar. Yang dibukukan itu “Pop”, populisme, popularitassme, lalu media dipakai untuk itu.
Nah ini, bukan genuine leadership, tapi bentukan pasar. Jadi pemimpin yang dibentuk oleh pasar. Tapi, sekarang yang mendominasi kepemimpinan tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat daerah seluruh Indonesia begitu semua. Produk dari Neo Liberalisme yang kelebihan.
gbn.top: Jadi apa yang dilakukan Jokowi kemarin mungkin bisa dikatakan sebagai produk dari politik pasar bebas?
JA: Iya itu. Tidak perlu menyebut nama dia, semua begitu. Pemimpin harus blusukan, harus pakaian lusuh, kalau perlu sobek-sobek, tidak seperti anda rapi bajunya seperti itu, bukan pemimpin. Pemimpin itu harus lusuh.
Semua kita pemimpin, di wilayah tanggung jawab kita masing-masing. Kullukum rooin wa kullu rooin mas’uulun an rooiyatihi. Semua kalian adalah pemimpin. Sampai nanti diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinan masing-masing. Jadi, Anda juga pemimpin.
gbn.top: Tadi disebut hampir merata di tingkat daerah juga terjadi pasar bebas [politik]. Ini berarti etika yang akan Prof Jimly tegakkan juga akan berat. Kalau penilaian menggunakan angka 1 sampai 10, sekarang etika berpolitik di angka berapa?
JA: Sekarang sistem etika ini lagi terjun [turun tajam]. Puncaknya ketika dr. Terawan diberhentikan oleh IDI [Ikatan Dokter Indonesia]. Semua pada marah. Jadi penghargaan kepada sisi etika itu makin kurang. Di tambah lagi di MK, banyak masalah etik, lalu dewan etiknya dibubarkan, tidak dilanjutkan, baru sekarang dibentuk lagi majelis kehormatan MK.
Jadi memang semua organisasi profesi punya kode etik. Contohnya ada advokat yang diberhentikan, eh dia bikin organisasi baru. Jadi memang sekarang ini sistem etika sebenarnya masih baru, karena di Barat sendiri baru berkembang di akhir abad 20.
Dulu tidak ada membuat aturan mengundangkan etika pemerintahan. Tapi sekarang semua negara sudah punya. Itu namanya UU etika jabatan publik. Semua negara, Amerika, Australia, Inggris. Bahkan PBB sudah menganjurkan, dalam salah satu resolusinya, supaya semua anggota PBB mengembangkan aturan etik untuk pejabat publik.
Karena itu saya getol, sejak tahun 90an. Satu kali kira-kira tahun 1995 saya diundang rapat oleh Menteri TB Silalahi [Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, 1993—1998], membicarakan soal UU Pemerintahan. Nah kami usulkan untuk etika pemerintahan, tidak ada yang setuju. Yang setuju cuma saya dan Ryas Rashid [Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Persatuan Nasional, 1999-2001].
Tetapi sekarang semua negara punya UU itu. Jadi, kita ini sedang berada di masa pancaroba, ketika sistem etik itu didukung tapi belum tuntas. Jadi saat ini, sana-sini bikin kode etik, tapi sendiri-sendiri, belum terpadu. Makanya saya berharap kita harus menata sistem hukum dan juga sistem etika secara terpadu.
gbn.top: Kami masih penasaran. Kalau boleh dapat angkanya, berapa nilai etika berpolitik di Indonesia saat ini?
JA: Sekarang sedang turun sekali. Orang tidak apresiasi. Makanya saya ingin hidupkan lagi. Jadi waktu saya ketua DKPP [Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu], dua kali, saya ambil prakarsa untuk mengadakan konvensi nasional etika berbangsa. Karena kita punya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, maka saya mengajak kerja sama MPR, Komisi Yudisial dan DKPP bikin konvensi nasional, untuk mempopulerkan kembali.
Tapi, gara-gara kasus dr. Terawan, lalu kasus-kasus yang lain, apalagi banyak pemimpin kita itu tidak mencontohkan etika. Misalnya, konflik kepentingan. Sekarang ini mungkin 60 persen menteri itu pebisnis semua. Campur aduk antara jabatan publik mana, urusan bisnis mana. Ini kan konflik kepentingan. Salah satu isu terbesar dalam soal etika bernegara itu adalah konflik kepentingan antara politik dan bisnis, antara jabatan insitusional dan urusan pribadi. Sekarang ini sedang rusak-rusaknya. Jadi tidak usah saya kasih angka.
gbn.top: Sebagai contoh, dalam hal kebijakan mobil listrik, sejumlah pejabat seperti Kepala KSP Moeldoko dan Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan diduga ada konflik kepentingan di dalamnya. Bagaimana melihat?
JA: Kita tidak perlu mempersoalkan orang per orang. Lebih dari 60 persen jabatan publik sampai daerah ini diisi oleh orang bisnis, atau pejabat publik yang bikin bisnis. Atau awalnya memang sudah jadi pengusaha masuk ke dunia politik. Sekarang sudah lebih dari 60 persen. Jadi dianggap sesuatu yang lumrah. Jadi sesuatu kebiasaan itu dianggap baik padahal tidak baik.
Nah, tugas pemimpin itu mengatasi yang begini. Ke depan kita harus tata kembali sistem hukum dan sistem etika berbangsa dan bernegara. Karena kita punya Pancasila dan UUD sebagai sumber beretika tertinggi dan kita punya Tap MPR yang masih berlaku, yaitu Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001.
Jadi, saya berharap partai-partai politik memprakarsai. Maka saya hadir kemarin waktu diundang Golkar itu untuk meyakinkan mereka. Waduh semangat sekali mereka, sampai bikin kopi pun di depan saya, tanda tangan bersama mempelopori. Saya sudah share ke partai-partai yang lain juga, supaya partai yang lain juga kalau tertarik, nanti saya jelasin.
Kalau terpaku kepada kasus-kasus yang terjadi saat ini, capek kita, ngomongin orang. Yang penting ini harus diperbaiki, karena tidak benar. Saat ini tidak dirasakan bahwa ini tidak benar, karena sudah jadi kebiasaan umum. Nah, kelaziman itu, kadang-kadang disadari, indentik dengan kezaliman. Lazim dan Zalim itu dekat-dekat saja.
gbn.top: Sekarang marak perdebatan mengenai pemilihan umum secara proposional terbuka atau tertutup. Tentu ini menjadi bagian untuk penataan perilaku politik yang benar. Proporsional tertutup lebih dekat kepada penegakan etika?
JA: Kadang-kadang kalau kita mengurus masalah satu per satu atau kalimat demi kalimat dari kebijakan itu repot, tanpa pemahaman yang konfrehensif. Jadi kebijakan ini harus secara sistemik [disusun], tidak bisa satu per satu.
Tapi, kalau dibawa ke MK, kadang-kadang MK hanya mempersoalkan kalimat. Itu masalahnya. Sudah dua kali MK itu membuat putusan proporsional itu terbuka. Itu keputusan MK sendiri. Nah untuk alasan apa MK mau berubah sekarang menjadi tertutup, kan dia [MK] harus menjelaskan kepada publik. Kalau tidak [dijelaskan kepada publik], dianggap ini politicking [politisasi]. Saya rasa kita tunggu saja keputusan MK. Saya tidak percaya bahwa mereka mau menyetujui yang [proporsional] tertutup.
Kalau Anda tanya saya bagaimana sistem Proporsional Tertutup, saya setuju, untuk memperkuat partai. Tapi ada syaratnya, kita harus berbicara reformasi kepartaian secara menyeluruh dulu. Misalnya, partai itu harus bersifat terbuka.
Kalau partainya tertutup lalu yang menentukan urutan caleg hanya satu orang, Ketum, bahkan Ketua Umum pun kalau peralihan kepemimpinan langsung ke anaknya, masak seperti itu. Jadi kalau ada sembilan partai yang menentukan negeri ini, berarti cuma sembilan orang atau sembilan keluarga. Ini tidak benar.
Sebelum kita setuju dengan sistem proporsional tertutup, reformasi kepartaian harus menjadi syarat. Kita harus bicara internal demokrasi [di dalam partai] sebelum kita bicara eksternal demokrasi. Partai itu sarana demokrasi kebangsaan. Tapi sebelum untuk bangsa dan negara, internalnya dulu ada demokrasi atau tidak. Kalau tidak ada demokrasi [di dalam partai], memakai proposional tertutup bisa makin rusak
gbn.top: Jadi sebenarnya Prof Jimly setuju sistem proporsional tertutup sepanjang ada reformasi dalam partai?
JA: Iya, jadi tidak bisa berdasar putusan MK ini yang hanya melihat kalimat demi kalimat.
gbn.top: Kabarnya ada usulan masa jabatan ketua umum partai dibatasi hanya dua periode. Apakah ini bagian untuk memperbaiki etika politik?
JA: Iya bagus, cuma sekali lagi jangan sepenggal sepenggal. Kita harus lihat secara menyeluruh bagaimana kita memperbaiki partai. Misalnya, peralihan kepemimpinan harus dicegah dari orang tua ke anak mantunya, kecuali sudah ada waktu jeda dua periode, baru boleh anaknya.
Kenapa? Karena budaya politik kita feodal. Dia akan turun temurun ke anaknya, lalu ke cucunya. Jadi itu percuma. Maka harus komprehensif. Misalnya, untuk menentukan nomor urut calon harus ada pemilihan internal. Atau mau menentukan Capres, Cagub, Cabup itu harus ada konvensi. Jadi ada mekanisme seperti itu. Harus diperbincangkan juga. Satu per satu.
Bahkan kalau Anda baca buku saya yang terakhir, “Oligarki dan Oligarkianisme” saya mengimpikan, kita harus mencegah konflik kepentingan dalam empat hal: bisnis, politik, civil society, dan media. Trennya, ada pengusaha besar, sekaligus punya media besar, diangkat menjadi ketua dewan penasihat ormas yang anggotanya jutaan, tiba-tiba bikin partai. Maksudnya bikin partai itu ngapain? Mau jadi Capres atau Cawapres. Kalau ini dibiarkan, maka suatu hari akan ada seorang Presiden RI menguasai bisnis di tangan dia, menguasai media di tangan dia, dan civil society, jadi satu. Ini yang saya namakan totaliarisme gaya baru. Maka, kita membicarakan menyeluruh.
Semua partai mempunyai organisasi underbow. Harus dipisahkan antara ormas dan orpol. Seperti PKI dulu dibubarkan partai bersama semua organisasi underbow-nya. Maka ormas harus memisahkan diri. Seperti sikap PBNU sekarang itu sudah bagus, sudah benar. Memisahkan diri dari PKB dan partai-partai lain. Jadi sekali dia ormas, ormas benaran. Ini perlu diatur juga.
Begitu juga dengan bisnis. Partai tidak boleh punya PT. Sebaliknya partai harus dibiayai negara, karena lembaga konstitusional yang disebutkan dalam konstitusi. Tapi jangan dulu diberi uang rakyat dong, kalau belum dibenahi secara internal. Jadi kita harus mengadakan moderenisasi dan reformasi sistem politik khusunya partai.
gbn.top: Kalau seperti itu kita perlu UU secara menyeluruh?
JA: Iya, kita bisa bikin UU yang menggunakan metode Omnibus Law. Omnibus itu teknik pembentukan UU. Jadi bukan hanya untuk investasi saja. Untuk menata sistem hukum bisa kita pakai. UU yang saling berkaitan, UU PT, UU Ormas, UU Parpol, UU MK, UU Media, UU Penyiaran. iitu dicopot satu per satu diperbaiki menjadi satu UU sapu jagat, namanya Omnibus Law di bidang Reformasi Politik
gbn.top: Sudah ada rencana atau draftnya, atau baru usulan?
JA: Belum ada. Ide pemikiran saya saja. Kalau saya berkuasa, ini saya kerjain. Cuma karena tidak punya partai ya seperti ini.
gbn.top: Apakah Prof Jimly sudah bicara ke Golkar atau partai lain. Seperti apa dukungan mereka untuk penyusunan omnibus law ini?
JA: Tidak. Yang saya bicarakan baru mengenai pentingnya Mahkamah Etika Nasional, atau kode etik dan dewan etik internal partai. Nah, yang lain-lain belum saya bicarakan
gbn.top: Usulan penyusunan omnibus law bidang reformasi politik sangat urgen. Apakah keperluan untuk ini bisa dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa?
JA: Lha iya, kan sudah 25 tahun kita reformasi. Semuanya dikaji ulang. Banyak yang kelebihan, ada juga yang kurang. Misalnya, Komisi Yudisial kerja rutinnya banyak. Hanya mengusulkan hakim agung, Nah kalau seperti itu mending bikin pansel saja. Juga DPD, orang di situ hebat-hebat, tapi tidak ada satu pun yang mengikat. Wujudnya ada sama dengan tiada.
gbn.top: Pilpres 2024 sebentar lagi. Banyak agenda reformasi politik. Apakah Prof Jimly membicarakan hal ini dengan para capres untuk menjadi bahan kampanye mereka?
JA: Ya, saya kira sependapat dengan pikiran Anda. Saya kenal baik dengan tiga-tiga capres yang digadang-gadang ini. Tapi kesempatan untuk ngobrol belum ada, khan mereka sibuk semua. Tapi masih ada yang suka balas WA. Namun siapa-siapa calon presiden ini belum jelas. Nanti kalau sudah jelas, kita berusaha memberikan masukan.