Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Pertama Jimly Asshiddiqie (JA) tak lelah menyuarakan mengenai perlunya penataan etika bernegara dan berpolitik. Ia melihat absennya etika dalam bernegara menimbulkan konflik kepentingan dengan campur aduknya antara kewenangan di jabatan publik dan bisnis, antara jabatan institusional dan urusan pribadi.
Redaksi gbn.top mewawancarai Jimly yang juga mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk mengetahui kondisi etika bernegara di Tanah Air dan langkah apa yang akan ditempuhnya untuk menegakkan kembali marwah lembaga negara dan institusi publik yang dipercaya masyarakat. Berikut rangkuman kedua wawancaranya:
gbn.top: Prof Jimly belum lama bertemu dengan Dewan Etik Golkar. Pesan apa yang dibawa pada pertemuan tersebut?
JA: Hanya ceramah tentang etika politik. Golkar kan salah satu pelopor bikin kode etik dan dewan etik partai sesudah Demokrat, PDIP. Saya rasa sekarang sudah semakin banyak dewan etik, kode etik. Nah, saya memperkenalkan kemarin, karena saya memang dari dulu menekankan pentingnya rule of ethics di samping rule of law. Bagaimana memperkuat dewan etika. Nah, mereka mengundang saya bagaimana memperkuat dewan etik.
Saya memberi saran mengenai bagaimana pola pengaturan internalnya. Kalau kondisi partainya beretika, maka diharapkan berpengaruh pada etika politisi pada umumnya dan etika politik jabatan publik pada umumnya, bukan hanya jabatan negara, tapi juga jabatan publik. Termasuk, misalnya, profesi. Akuntan publik itu swasta tapi menyangkut kepentingan publik. Nah kode etik ini penting agar supaya ada kontrol terhadap perilaku ideal kepada masyarakat dan dikhususkan lagi pada mereka yang punya jabatan.
Jangan hanya pendekatan hukum saja. Sudah terlalu banyak [pendekatan hukum]. Andalan satu-satunya hukum pidana itu ya penjara, makanya penjara penuh. Pemenjaraan itu kadang-kadang tidak menyelesaikan masalah, karena yang taubat cuma 30 persen, sedang yang 30 persen lagi itu dendam karena merasa tidak bersalah. Tapi, yang gawat, 40 persen sisanya makin menjadi-jadi. Tukang copet keluar penjara jadi perampok.
Maka, pendekatan hukum itu bukan segala-galanya. Sudah saatnya kita membenahi akhlak bangsa ini dengan konkret, adab bangsa [dalam] bernegara, bukan hanya yang abstrak akhlak, tapi juga adab yang dalam bahasa latinnya adalah ethics. Nah itu kira-kira.
gbn.top: Apa saja hal-hal yang perlu dibenahi dan ditata kembali untuk menegakkan etika bernegara di Tanah Air sesuai temuan di lapangan?
JA: Banyak sekali, karena sekarang banyak sekali UU yang mengatur lembaga negara, PNS, ASN, organisasi profesi, dan profesi seperti kedokteran, notaris, akuntan, insinyur, itu semua menentukan harus ada kode etik dan harus ada lembaga penegaknya.
Tapi sekarang ini sebagian besar masih menganggap etik ini urusan privat. Padahal orang harus melihat jabatan publiknya itu ada kepentingan umum dalam jabatan publik itu. Nah ini kita bicara kode etik dari jabatan publik, yang para publiknya [masyarakat] punya kepentingan untuk tahu, berharap ada perilaku yang mendidik, melayani dengan baik, dan sebagainya.
Jadi semua lembaga saat ini sudah punya formalnya. Tapi, efektivitas pembinaan dan penegakannya belum. Ini kan tersebar, tercecer di mana-mana, belum ada yang mengkoordinir. Saya mengusulkan ada Mahkamah Etika Nasional sebagai puncaknya sekaligus tempat terakhir, seperti dalam kasus dr. Terawan yang dipecat dari IDI [Ikatan Dokter Indonesia], ia punya tempat mengadu.
Pengaduannya itu melalui KY [Komisi Yudisial]. KY bertindak sebagai pelapor pengaduan, seperti jaksanya, sedang mahkamah itu pengadilan. Nah, dengan begitu KY itu diberi tanggung jawab membina bukan hanya perilaku hakim juga pejabat publik lain. Tapi dia [KY] tidak memutuskan, dia bukan pengadilannya. Pengadilannya adalah Mahkamah Etika Nasional itu tadi.
Nah dari dua lembaga ini kalau direformasi, KY itu bisa dimanfaatkan untuk membina sistem etika bernegara untuk semua profesi. Saat ini jalan sendiri-sendiri. Seperti advokat yang dipecat, dia gabung dengan organisasi lain.
Nah ini, untuk jabatan publik, ini lebih baik dari sanksi hukum. Sanksi hukum itu membalas kesalahan. Kalau etika, bukan membalas kesalahan, tapi tujuannya menjaga nama baik jabatan. Menjaga social trust terhadap institusi. Makanya sanksinya bersifat mendidik, seperti teguran, peringatan, pemberhentian sementara, pemberhentian atas permintaan sendiri. Paling top, dipecat. Jadi ada urutan-urutan. Ketika dia sudah dapat teguran, dia harus lebih hati-hati.
Kalau hukum tidak mengenal seperti itu. Langsung menghukum saja. Padahal menghukum itu yang paling berat itu pidana mati. Pidana mati formalnya masih ada. Tapi di KUHP yang baru dikasih percobaan sepuluh tahun. Artinya mana ada orang yang mau mati. Dia berusaha berkelakuan baik. Sehingga pidana mati di Indonesia pasca disahkannya KUHP sama dengan sudah menjadi abolition de facto. Dejure masih, tapi de facto sudah tidak ada lagi. Maka andalan satu-satunya penjara.
Tapi penjara juga tidak bisa juga, yang taubat cuma 30 persen. Yang dendam seperti Anas Urbaningrum ada, karena tidak merasa salah, ada 30 persen. Yang paling gawat yang 40 persen yang makin menjadi-jadi.
Maka sudah saatnya sebagai negara Pancasila kita menghidupkan sistem etika berbangsa. Harus ditata. Seperti negara lain juga sedang menata hal ini.
gbn.top: Banyak sekali pekerjaan rumah menata etika bernegara ini. Butuh waktu berapa lama dan bagaimana caranya agar bisa benar-benar efektif diterapkan?
JA: Idealnya harus pakai perubahan UUD, amandemen kelima. Kuncinya itu ada di partai-partai politik. Kalau partai-partai ini setuju membangun etika bangsa secara konkret dan efektif, bisa dilakukan perubahan dengan membuat, memasukkan ketentuan baru yang mengubah ketentuan mengenai KY dan menambah ketentuan mengenai Mahkamah Etika itu tadi.
Kalau sekarang tidak bisa mengubah UUD sebelum pemilu karena akan melebar isunya ke masalah tunda pemilu, perpanjangan masa jabatan, calon independen. Jadi sesudah pemilu [amandemen UUD], apalagi nanti sudah terpilih presiden, kita berharap dia punya wawasan untuk mempersiapkan Indonesia Emas tahun 2045. Maka 25 tahun ini harus kita evaluasi menyeluruh. Harus banyak perbaikan.
gbn.top: Apakah sudah ada pembicaraan mengenai amandemen kelima UUD berkaitan dengan penataan etika bernegara ini?
JA: Ya belum. Yang ada baru pembicaraan perubahan UUD untuk mendudukan kembali GBHN. Tapi itu juga tidak jadi karena ada isu perubahan [UUD] mau ditunggangi agenda presiden tiga periode dan lain-lain. Maka pimpinan MPR pun sudah menghentikan pembicaraan mengenai ide perubahan UUD.
Tapi sesudah pemilu nanti kan terbuka untuk kita. Setelah Pemilu Februari 2024, seminggu setelah itu kan tahu siap pemenangnya. Di situ kita berusaha meyakinkan presiden terpilih untuk pembenahan total reformasi gelombang kedua ini. Dan itu hasil evaluasi menyeluruh. Bukan satu per satu atau kalimat per kalimat atau pasal per pasal, proporsional terbuka atau tertutup, itu soal sektoral, saya tidak bisa soal kecil. Tapi itu harus dilihat sebagai salah satu.
Termasuk juga treshold 20 persen, apa masih perlu itu? Nah yang seperti ini harus dipikirkan secara menyeluruh.
gbn.top: Melakukan perubahan seperti ini bisa seperti telur dan ayam. Usul amandemen UUD diajukan untuk menata etika bernegara, namun parpol yang memiliki kekuasaan melakukan perubahan UUD menolaknya karena kepentingannya akan terusik. Jadi harus mulai dari mana ini?
JA: Sebagai contohnya, begitu diusulkan proporsional tertutup, delapan partai menolak semua. Ragam antar kepentingan partai itu jadi beda. Sudut pandangnya beda, pengetahuan informasinya beda, dan kepentingannya berbeda, tapi ada yang bisa mempersatukan kalau bicara mengenai kepentingan yang lebih besar. Jadi jangan terpaku pada kepentingan sendiri-sendiri, tapi sudut pandang yang sama. Makanya kita beresin dulu pilpres.
Begitu terpilih presidennya masih idealis, masih semangat. Masih bisa dipengaruhi. Kalau lebih dari satu tahun kuasa sulit juga.
gbn.top: Tapi presiden terpilihnya siapa dulu. Kalau pro status quo bagaimana?
JA: Tidak usah teknis dulu. Capresnya siapa, cawapresnya siapa belum tahu, dua, tiga atau empat calon, masih cair. Kita tunggu saja. Sesudah Juni sudah kelihatan. Agustus atau paling telat September baru akan konkret. Itu juga belum pemenangnya, baru calonnya. Kata Pak Jokowi ojo kesusu.