Untuk Menang Megawati Pasti Tega Korbankan Puan

Perbincangan budayawan Erros Djarot dengan wartawan senior Tempo, Bambang Harimurti, berlangsung pada 28 Oktober 2022, jauh sebelum PDIP menunjuk Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menjadi calon presiden dalam Pilpres 2024. Namun isi dialog ini masih relevan untuk mengetahui latar belakang mengapa akhirnya Ganjar yang dipilih sebagai Capres.

Erros Djarot (EDJ): Bincang Bhinneka kali ini saya mendatangkan tamu khusus, anggota dewan pakar Gerakan Bhinneka Nusantara (GBN) Bambang Harimurti, seorang wartawan senior Tempo yang sudah banyak pengalaman.

Bambang Harimurti (BH): Terima kasih mas Erros sudah memberi kesempatan yang tidak gampang ini. Sebenarnya saya ingin mengulik-ulik mas Erros. Mas Erros ini bukan hanya orang yang budayawan dengan b kecil tapi juga budayawan B besar Juga pernah dekat, menjadi semacam ‘dalang’ kekuasaan.

Nah, kita kan bicara terutama soal, ini nih habitatnya mas Erros, ‘merah putih’ dengan usur merahnya yang jernih. Nah saya itu, di kalangan nasionalis bangsa ini ada semacam kerisauan.

EDJ: Ini pasti 2024 ya?

BH: Yah ke sanalahh. PDIP sebagai partai yang merepresentasikan kelompok nasionalis, juara satu. Tidak ada lawannya. Dan hasil pol juga tetap baik. Tapi orang mempertanyakan siapa yang akan dimajukan di 2024. Nah, ini yang jadi perbincangan di warung kopi dan di mana-mana, karena kelahatannya ada gap antara elite dan massanya.

EDJ: Ada yang pernah dengar tidak?

BH: Yah, misalnya mas [Bambang] Pacul, [dia mengatakan] calonnya mesti Puan. Harus darah Sukarno. Tapi kan kalo kita lihat pol, Puan kan waduh, singel digit pun yang bawah sehingga kemungkinan menangnya …. Bukan berarti tidak mungkin, tapi ini kecil sekali kemungkinannya.

EDJ: Ok, yang pertama gini mas Bambang. Seseorang punya ambisi kan boleh dong?

BH: Boleeh!

EDJ: Tidak dilarang UU, jadi wajar saja kalau Puan mencoba menempatkan diri, bahwa saya pun bisa. Itu kan subjektivitas dari dirinya. Ya ndak ada masalah toh?!

BH: Oh ya, tidak ada masalah.

EDJ: Nah, permasalahannya, realistis tidak?

BH: winnable tidak?

EDJ: Sellable juga tidak. Nah, sampai hari ini single digit itu memang jadi persoalan, itu pun posisinya di bawah. Andaikata dia hari ini sudah 8, 9, atau 10 lah. Rasanya wajar dan negative reason juga tidak ada. Tapi dengan single digit paling bawah ini memang agak sulit.

Saya menyampaikan hal ini lho mas. Megawati kan seorang Ibu. Kalau lihat putrinya punya keinginan seperti itu  masak sih dipatahkan. Maka dikasihlah kesempatan.

BH: Tapi kan, kalau melihat seorang Ibu, apakah ia akan mendorong putrinya ke pertandingan dengan kemungkinan putrinya kalah? Kan kasihan. Sementara ada kader lain. Sudah  jelas kader dari bawah, masih muda, naik dari bawah ke atas.

EDJ: Gini, saya kenal Megawati.  Winning is everything for her.

BH: Tapi kan kasihan banget. Partai yang menang tapi calon presidennya kalah, bagaimana?

EDJ: Ya tidak mungkin, malu lah. Mana mungkin Megawati mau.

BH: Justru itu yang saya tahu. Pada saat terakhir biasanya mengambil keputusan yang tepat. Itu sudah kita buktikan. Ingat kan dulu waktu Jokowi calon Gubernur DKI Jakarta, sampai saat terakhir masih Foke [Fauzi Bowo, incumbent Gubernur DKI Jakarta].

PDIP masih mau ke Foke. Semua partai ramai-ramai mendukung Foke. Tapi saat saat terakhir, eleven hours, kata orang, dia mendukung Jokowi. Waktu itu kita lihat Jokowi masih jauh di bawah berdasarkan pool. Tapi kecenderungannya naik, eksponensial lagi.

Nah kan suasanya sekarang lain. Kalau sekarang, kita sebut nama saja Ganjar. Ganjar itu di pool leading sebagai kader PDIP, sering kali nomor satu lah. Tapi kalau kita melihat suara yang mengaku pendukung Puan, dijegal terus.  Ini punya kader sendiri, dari partai sendiri, seperti mau dijegal sendiri oleh Internal

EDJ: Saya kok melihatnya berbeda ya

BH: Engga seperti itu ya? Ini kan di warung-warung seperti itu.

EDJ: Betul menjegal atau mendorong naik elektabilitasnya. Seolah-olah itu kan memotong. Makanya saya bilang kepada yang mendampingi Puan, sebenanya kalian ini mau menjegal Ganjar atau menaikkan elektabilitanya. Sebetulnya kalau tidak disukai atau diinginkan, kenapa justru diperpanjang sehingga elektabilitas malah meningkat. Sementara yang ngerjain pasti orang-orang yang tidak suka. Contohnya,  dulu Pak SBY, dikuyo-kuyo. Orang Indonesia itu kan senangnya film India, melodrama. Jadi siapapun yang dizolimi itu pasti mendapat simpati.

BH: Itulah sebabnya saya berprasangka, jangan-jangan di belakang semua ini ada mas Erros. Orang film bikin skenario supaya mas Ganjar seolah dikuyo-kuyo, menjadi pembicaraan, malah naik. Dan seperti film India, jagoannya kalah dulu di awal. Lalu menjelang akhir, di menit 10 sebelum akhir menang.

EDJ: Sayangnya Puan-nya tidak seperti itu. Sebetulnya, Puan ingin sekali untuk mendudukkan dirinya ke level yang lebih tinggi. Tapi iniI kan kasihan sama Puan senidiri.

BH: Tapi bukannya ini ujian kepemimpinan bagi Puan biar memilih kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan yang lebih besar atau partainya. Jadi ini sebenarnya kesempatan bagi mbak Puan untuk memberikan pengorbanan yang benar-benar akan direspek masyarakat kalau dia mau mengambil peluang itu.

EDJ: Itu kan kalau kita bicara dari satu pandangan yang lebih jernih. Biasanya orang yang di dalam itu udaranya tidak jernih.

BH: Tapi saya membayangkan seperti ini, kalau Puan ngomong seperti itu mungkin elektabilitasnya naik ke atas.

EDJ: Bahkan kalau dia mau menyebut silahkan Ganjar. Tapi sekarang sudah terlanjur. Mungkin sudah saatnya Puan menata kembali jalan ke depannya seperti apa. Kan untuk berpartisipasi bernegara tidak harus jadi presiden.  Ada yang jadi ketua umum, partainya sangat terhormat.

BH: Ada di India, di keluarga Gandhi itu. Istrinya, Sonya Gandhi, ia malah memberi kesempatan kepada Perdana Menterinya untuk fokus ke sejahteraan negara. Kalau urusan politik dia yang menghadapi.

Menurut saya Puan punya kemampuan itu. Misalnya, Puan mempunyai visi ‘Raja Politik’ sehingga siapa pun calon, katakanlah mas Ganjar, yang maju yang menjadi calon presiden, maka bisa fokus.

EDJ: Karena ini aneh, desainernya siapa sih? Peta politiknya siapa, saya kurang paham.

BH: Ini kurang paham atau pura-pura belum paham, nih?

EDJ:  Enggak bener, ini malah langkahnya aneh, contohnya, Ganjar kemarin dipanggil. Itu diinterogasi atau apa ya, atau klarifikas. Apa betul dia katanya siap jadi calon presiden. Makanya, kalo tidak salah, dia kan ditanya sama wartawan  Kalau anda dicalonkan bagaimana? Di Jawab, kalau negara memanggil siapapun harus siap. Kira-kira begitulah.  Wajar itu, normatif.

Nah itu kemudian diklarifikasi. Ini lagi-lagi mendeskreditkan Puan. Karena apa? Karena Puan pada saat 17 Agustus yang lalu di geduang DPR  diteriakin Puan Presiden. Nah Puan kan di sana. Jadi tidak mungkin Puan tidak tahu. Nah itu tidak diklarifikasi.

Nah, hal-hal seperti ini berhubungan dengan Puan sendiri. Justru menurut saya, kok jahil amat sih, kenapa sih Ganjar pake diklarifikasi. Kan orang pada bilang, kalau Ganjar saja perlu diklarifikasi kalau Puan tidak. Itu kan malah kasihan Puannya. Kan seperti itu.

BH: Jadi perlakuannya seperti anak tiri dan anak emas ya?

EDJ: Nah, kalo orang Indonesia kan tidak suka.

BH: Kita kan jadi bersimpati kepada anak tiri? Ceritanya, ada ibu tiri kejam

EDJ: Jadi sebetulnya banyak orang bilang Ganjar akan disingkirkan, bingung itu, rasanya di grooming.

BH: Tapi kan bisa ada problem mas, misalnya tiba-tiba, kayak kemarin Nasdem mencalonkan Anies. Sekarang ini sudah ada pergerakannya. Tiba-tiba ada partai kecil atau menengah men-declear mencalonkan Ganjar, jadi gimana itu posisinya?

EDJ: Iya tidak apa-apa.

BH: Tapi kan jadi masalah, kalau dia tidak terima bagaimana?

EDJ: Lho, tidak perlu menerima, tidak perlu menyatakan apa-apa. Karena dia membiarkan hak orang, Hak konstitusi manapun yang tidak boleh. Orang sudah tahu kok tidak akan direspon

BH: Kalau ada yang bilang sekalian minta diizinkan oleh Ibu Megawati.

EDJ: Ini lho, kalau bicara-bicara Surya Paloh dan partainya memang seperti itu. Kalau mbak Megawati memang biasa membiarkan orang membaca buku sampai halaman terakhir.

BH: Tapi, itu tidak bisa bahaya juga ya?

EDJ: Bisa berbahaya. Sama saja itu pertarungan di detik-detik terakhir.

BH: Misal, Mas Erros jadi penasehatnya Ibu Megawati.  Cuma hari ini, karena ke depan atau seminggu ke depan, bisa saja berubah. Menghadapi dilema seolah-olah terjadi polarisasi elite di partai dengan massa pendukungnya sendiri, bagaimana menjembataninya, atau sesuatu yang tadinya bahaya, atau ini kan kombinasi antara bahaya dan peluang. Ancaman bahaya ini malah bisa jadi peluang

EDJ: Kalau gayanya beda, akan saya nasehatin. Tapi kan sekarang polanya sama, jadi diemin saja. Kira-kira tahu kok akhirnya akan seperti apa. Saya sudah menduga akan begitu.

Megawati di akhir masa jabatannya, tanda kutip, tidak mungkin dia meninggalkan legacy kekalahan. Makanya, dia tidak akan, siapa pun, termasuk anaknya, saudarnya pun kalau perlu. Itulah Megawati, sehingga tidak usah terlalu khawatir. Dia pasti memilih yang pasti menang

BH: Kalau menurut saya, Ibu Megawati sudah memberi contoh kepada siapa pun terutama anaknya. Ketika dia memutuskan tidak maju menjadi calon presiden tapi memajukan Jokowi, menurut saya, sesuatu yang menunjukkan kwalitas kepemimpinan yang luar biasa. Dia mengorbankan dirinya. Dia bukan tidak punya ambisi jadi presiden. Tapi, at the end dia memutuskan tidak [jadi calon presiden].

EDJ: Inilah sebenarnya yang digunakan orang-orang yang mendukung Puan. Jangan sampai terjadi seperti jaman Jokowi. Seolah-olah dipaksa oleh keadaan harus memilih Jokowi, karena desakan dari media begitu luar biasa. Itu semua rekayasa, menurut teman-teman dulu. Nah, kali ini tidak mau terjadi seperti itu lagi. Tapi kan sekarang tidak direkayasa pun di mana-mana kalau orang ditanya siapa sih yang paling pas maju mewakili PDIP kan hanya ada satu nama. Dan saya rasa untuk hal itu Ibu Megawati bukan tidak ada pilihan. Pasti dia dengar itu.

BH: Masalahnya seperti ini, kadang-kadang untuk seorang Ibu untuk mengorbankan dirinya, enggak seberat mengorbankan putrinya. Ada kemungkinan seperti itu?

EDJ: Tapi satu hal, bukan mengorbankan sesuatu yang paling fatal. Dia itu kalah, dan partainya juga. Itu kan mengorbankan putrinya.

BH: Iya itu justru lebih berat ya.

EDJ: Iya lebih berat, makanya saya selalu ngomong sama dia. Mbak [Megawati] kalau ada anak nangis minta es di siang hari, kalau ngasih  itu seperti welas tanpa asih. Kalau batuk bagaimana. Jadi biarkan Puan marah sebentar tapi dia akan sadar suatu hari. Saya kok meyakini ini.

BH: Mbak Puan masih muda juga kan? Bukan berarti tidak maju sekarang dia tidak bisa maju di masa depan.

EDJ: Dan ini juga masalah internal di keluarganya masih ada. Mas Guntur sudah ngasih kode, bahwa presiden yang akan datang tidak perlu dari trah [Sukarno]. Itu artinya apa? Belum juga antarsaudara ada saling klarifikasi. Tidak semudah itu. Apakah PDIP dalam konteks pemilihan presiden itu suaranya entitas? Ya enggak. Ada juga keinginan-keinginan yang tidak di dalam internal sendiri. Kita lihatlah. Jika memang Puan mempunyai kemampuan meningkatkan elektabilitasnya iya pasti ibu [Megawati] bisa

BH: Masih ada waktu

EDJ: Cuma menurut perhitungan saya memang agak susah.

BH: Tapi, seandainya Mas Erros diminta sama Ibu Megawati, kamu jadi campaign manager-nya Puan untuk mengangkat elektabilitas Puan.

EDJ: Saya akan jawab, saya bukan tukang sulap. Kenapa?

BH: Segitu beratnya ya?

EDJ: Ada hal-hal yang harus dilakukan. Saya tidak apatis kalau pendekatan kulturalnya lebih menonjol. Tapi itu harusnya kan dua tahun yang lalu dipersiapkan dengan konsep-konsep yang lebih ke pendekatan kultural, maka tidak akan seperti ini hasilnya. Tapi bayangkan ya, potretnya sudah ada di mana-mana, balihonya. Untuk tembus dua persen saja harusnya bisa. Jangan sampai kalau dia maju memaksakan diri bisa jadi. Kalau dia kalah, rakyat bisa menuntut dia mundur.

BH: Tapi kira-kira elitenya PDIP di Ibu Mega itu bisa percaya tidak akurasi jajak pendapatnya.

EDJ: Kalau jajak pendapatnya dari satu orang atau satu institusi pool, maka patut dicurigai. Tapi kalau hampir seluruh poling yang mengindikasikan seperti itu, bagaimana? Contohnya seperti ini. Teman-teman PDIP harus ingat ya, saya ingat sekali, waktu itu saya masih di situ. Waktu itu kita mau merayakan apa itu di Bali. Kita ribut soal uang.

Mereka tidak mau menerima sumbangan Sinivasan sekian miliar, tidak perlu itu. Saya yakin pasti rakyat akan mendukung kita. Saya yakin seluruh jalan akan dipenuhi oleh baliho. Yang saya yakini rakyat kok yang mengumpulkan.

Hal yang sama apa iya Ganjar membayar untuk mempublikasikan poling seperti itu. Saya yakin tidak. Katanya mau disandingkan dengan orang yang punya duit. Mungkin menteri BUMN ya. Tidak perlu itu. Justru sekarang yang paling penting, umpama dia disandingkan dengan sipil-sipil semua dan Prabowo yang militer sendiri, juga sama, harus diperhitungkan. Jadi saya enggak khawatir kok. Begitu Ganjar maju, harus disandingkan dengan militer sebagai wakilnya, tidak usah takutlah.

BH: Ini bisa Andika, atau Dudung?

EDJ: Ya, siapapun yang kira-kira pas itu saya yakin tidak usaha khawatir. Yang namanya rakyat itu pasti akan nyetor. Teman saya bilang kalau disandingkan, misalnya, dengan Erick Tohir [Menteri BUMN], banyak perhitungan liabililtas.

BH: Dan ini bisa tabrakan. Partai wong cilik bukan?

EDJ: Nah itu juga. Nanti peran saudaranya [Erick] ini kan harus dipikirkan juga. Jadi jangan cuma karena dia beruang.  Teman-teman di NU bahkan Menteri Agama sudah begitu. Ini kenapa ukurannya uang?

BH: Tapi uang itu, mau enggak mau, tidak boleh menutup mata. Di Filipina, Bong bong itu kan kuatnya melalui medsos, berhasil itu. Walaupun itu karena dia pasangan dengan anak Duterte.

EDJ: Siapa sih yang berani menentang, kalau berani lewat lah. Nah, kalau yang Ganjar ini saya punya keyakinan bahwa rakyat itu dengan sendirinya patungan. Saya yakin. Ibu-ibu ada yang bilang tak dol motor ku [aku akan jual motorku untuk dukung Ganjar].

BH: Tapi kalau ada kritik, Ganjar itu jagonya memang di media sosial. Memang media sosial itu sangat menarik. Tapi prestasi riil nya itu apa saja? Itu juga jadi pertanyaan. Jangan-jangan mas Ganjar ini merefleksikan orang yang bisa sangat popular karena jago di medsos.

EDJ: Nah ginilah…Jokowi kan sama saja. Bayangin dari Solo, baru satu setengah tahun langsung nasional.

BH: Tapi dia yang kedua dong.

EDJ: Yang di DKI

BH: Oh ya. Kan sebagai wali kota dia cemerlang. Prestasinya banyak.

EDJ: Untuk hal itu kita bisa debatable. Mungkin kelemahan Ganjar memang ada. Bahwasanya dia tidak suka mengumbar prestasi atau memang tidak punya prestasi. Tapi kalau kita lihat kehidupan di Jawa Tengah adem ayem. Dan buktinya dukungannya begitu besar. Rakyat itu tidak mau mendukung begitu saja. Jajak pendapatnya membuktikan itu.

BH: Jajak pendapatnya independen.

EDJ: Sudahlah kita ini, orang-orang seperti kita ini, ya beri jalan sajalah. Misal, kenapa sih harus memberangus Anies. Biar saja dia maju, kalau perlu beri dia informasi yang bagus.

BH: Jangan-jangan karena membumihanguskan Anies malah dia tambah lebih populer.

EDJ: itu kan sudah diperhitungkan. Walaupun memang karena banyak ‘jubah-jubah’ yang ditonjolkan oleh Anies ini jadi kurang menguntungkan. Nah, kemenangan Ganjar, dia berada di tengah. Dan ditengah itu lah yang menguntungkan di setiap Pilpres. Siapa pun yang merebut tengah itulah yang menang

BH: Tapi kalau kita fast forward ke 2024 ini kan pemilihan yang tidak ada incubentnya, karena Incumbennya tidak boleh lagi. Jadi itu benar-benar merefleksikan secara tradisional pertarungan antara kontinuiti dan perubahan, antara berkesinambungan dan perubahan. Jadi bagaimana gambaran atau peran pak Jokowi itu menggambarkan PDIP karena Jokowi itu petugas partainya PDIP.

Nah jika pemerintahan pak Jokowi itu tidak kinclong jelang Pilpres 2024. Seperti kita baca Kompas pagi ini lagi jatuh kan popularitasnya mungkin turun karena ada beberapa kejadian, maka kekuatan yang ingin adanya perubahan makin naik. Tapi sebaliknya kalau prestasinya kinclong maka mereka ingin kesinambungan. Siapapun yang dicalonkan, PDIP akan menikmati.

EDJ: Tapi gini mas. Kalau di PDIP, balik ke khittah sebagai partai rakyat, sehingga nanti pun, kesinambungan itu apa sih di PDIP. Kesinambungan yang paling utama adalah bagaimana tidak meninggalkan dari hal-hal yang sudah ditetapkan partai sebagai ideologi. Jadi walau petugas partai kan bisa saja diuadit secara politik kerjanya, sosial ekonomi dan seterusnya. Tapi wajar saja Pak Jokowi harus jadi King Maker.

BH: Justru itu. Kalau saya membayangkan, kalau saya jadi ‘penasehat PDIP’, saya dari pada kampanye buang-buang uang memperkaya tim sukses itu kan sebetulnya, kalau kita pastikan saja pemerintahan ini berhasil, terutama berhasil dalam ideologi PDIP, artinya dia berhasil sebagai partainya wong cilik yang membesarkan rakyat, bisa membuat partai terlepas dari jeratan oligarki. Karena itu kan Oligarki kencang banget. Kalau itu terbukti, pasti saya kira siapapun yang didukung PDIP akan mendapatkan dukungan besar. Kan lebih baik memastikan petugas partai PDIP itu berjalan pada jalur PDIP.

EDJ: Makanya kenapa Ganjar. Yang paling penting bagi Ganjar itu bukan kerjanya terbukti atau tidak. Tapi komitmennya. Apakah kalau Puan, Prabowo atau Anies naik, programnya itu apakah seperti ini saja, memelihara oligarki ini. Bahkan dia memperkuat barisan oligarki ini.

Nah, saya bisa pahami kenapa pak Jokowi sangat-sangat berkepentingan untuk yang penerusnya ini paling tidak ada kesinambungan. Kesinambungan yang mana nih? Jelas harus orang yang tidak mengutik-ngutik apa pun yang pernah dikerjakan, misalnya, masalah Kereta cepat masih bisa dipersoalkan, masalah Ibu Kota Nusantara juga masih dipersoalkan dan yang diturunkan untuk PUPR bisa diaudit dan juga Covid dana yang begitu luar biasa itu. Nah kalau tidak dilanjutkan oleh orang-orang atau penerusnya yang bisa memahami dan mau mengerti dia. Makanya kenapa Anies tidak boleh jadi dia. Kita bisa maklumilah hal seperti itu. Maka Ganjar kemungkinan berpeluang sangat kuat.

BH: Kita kan, masyakarat bisa melihat dan merasakan bahwa Pak Jokowi itu pinginnya Ganjar lah. Kan kerjanya berhenti tidak lama lagi sebagai Gubernur. Kalau Pak Jokowi mau mengkader dia, bisa menarik dia ke posisi tertentu. Ibu Megawati sudah pinter sekali memasukkan Risma di Mensos, karena Mensos yang bagi-bagi BLT. Pada saat rakyat susah dikasih BLT. Ini mungkin Pak Ganjar bisa diangkat menjadi Menteri yang urusannya UKM untuk membuktikan kinerjanya.

EDJ: Tidak usah membuktikan apa-apa. Ganjar sudah di hati rakyat. Jadi sebagai konklusi yang bisa saya sampaikan, tidak usah dikasih apa-apa, diam saja. Karena nanti rakyat yang akan bekerja buat kamu [Ganjar]. Saya yakin itu. Justru sekarang ini dengan, katanya Ganjar tidak boleh bicara ini bicara itu. Yo wes, kalau saya Ganjar ya diem saja. Nanti rakyat yang akan kampanye buat kamu. Itu saya yakini. Makanya kalau tidak mau Ganjar, salah semua apa yang dilakukan oleh non-Ganjaris.

BH: Tapi mungkin tidak, diberi kemungkinan yang bertolak belakang. Misal, Ganjar dicalonkan dari tempat lain yang masih dekat, ini dari PDIP. Nanti siapapun yang menang Merah juga.

EDJ: Ganjar itu saya tahu, dia tidak akan seperti itu. Dia tahu persis siapa mbak Megawati. Hanya saya bilang ke Ganjar, tenang sajalah.

BH: Karena dia kan tahu betapa marahnya Megawati ke SBY ketika ditanya mau maju atau tidak, jawabnya tidak, tetapi terus maju.

EDJ: Kalau saya, kenapa kita harus mempersoalkan siapa Ganjar, Anies. Coba kita konsentrasi nih, presiden yang akan datang kita bantu bersama-sama memerangi oligarki, mafia tanah.

BH: Makanya partai politik harus dibehani

EDJ: Iya dong. Pelaksanaan UUD Pasal 33 yang tidak pernah tersentuh. UU Agraria yang tidak tersentuh sampai sekarang ini. Nah kenapa enggak kesana.

Ayo kita sama-sama bagaimana membantu Ganjar, Anies, Prabowo kembali insyaf ke jalan yang benar untuk bebas dari oligarki. Berpihaklah pada Merah Putih dan NKRI. Yang menang harus rakyat Indonesia.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com