Demokrasi Minus Demokrat

Politik di Indonesia pasca era reformasi, adalah panggung demokrasi tanpa para demokrat. 

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Perseteruan memperebutkan Partai Demokrat antara kubu AHY-SBY vs kubu Moeldoko, sedang berkecamuk, tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung (MA). Putusan yang menurut "bocoran", atau gosip yang beredar, akan memenangkan kubu Moeldoko.

Sekonyong-konyong terjadi pertemuan antara Puan Maharani dan Agus Harmurti Yudhoyono (AHY), di Senayan, dalam lanskap yang terlihat teduh dan penuh harmoni. Pertemuan, yang entah kenapa lebih mirip tontonan, bakal membuat konstelasi perseteruan atau perkubuan politik menjelang pemilu menjadi "ambyar".

Ibarat film sinetron, politik kepartaian menjelang Pilpres di Indonesia penuh adegan drama, menguras tawa, dengan plot yang berkelok dan berliku (plot twist). Drama politik penuh adu siasat, pat-gulipat, dan persekongkolan yang sulit ditebak. Perkubuan "kawan atau lawan" politik sangat lentur dan elastis.

Hampir dua dasawarsa komunikasi mandeg antara PDIP dan Partai Demokrat, dua partai yang pernah memenangkan pemilu. Cerminan kebekuan komunikasi, alias "jotakan", antara matriakh dan patriakh partai, Megawati dan SBY, dua mantan presiden.

Pertemuan Puan dan AHY, sang putri dan putra mahkota partai, di Senayan mencairkan kebekuan itu. Menjadi indikasi akan adanya rencana "besanan" politik antara dua partai seteru ini.

Boleh jadi mereka akan berkoalisi untuk kepentingan politik elektoral memenangkan pilpres. Dan diharapkan kisah drama "love and hate" politik ini akan berakhir bahagia, mereka hidup dalam harmoni, "hapilly ever after". Seperti kisah dongeng ala film Disney.

Tapi jangan cepat ambil kesimpulan dulu. Drama politik di Indonesia selalu membuka peluang adanya plot twist. Mereka bertemu, untuk bersepakat atau bersiasat. Apa yang masing-masing pihak akan dapat, menentukan apakah kesepakatan bisa berlanjut.

Lalu bagaimana dengan nasib si "antagonis" Moeldoko, yang mendapat plot, berperan sebagai figur pengambil-alih Partai Demokrat? Jika, misalnya, putusan PK MA mengalahkannya?

"Kudeta konstitusional" Moeldoko, sebagai bagian dari politik cawe-cawe, untuk mengambil alih Partai Demokrat kandas. Misinya gagal. Akankah ia tersingkir dari panggung drama politik ini? Tergantung, sejauh mana level skenario cawe-cawe politik ini masih bisa dimainkan. Setidaknya sampai hasil pilpres jelas, siapa pemenangnya.

Drama perseteruan Mega-SBY, PDIP-Demokrat, upaya pengambil-alihan Partai Demokrat, dan pertemuan Puan-AHY di Senayan, adalah tontonan drama politik seru, yang mengharu-biru (persisnya memerah-biru) rakyat Indonesia.

Mempertontonkan wajah demokrasi Indonesia yang semakin babak belur, pasca era reformasi. Setelah lebih dari 25 era Reformasi, demokrasi Indonesia tidak juga mampu terkonsolidasi menjadi sistem yang mapan dan mature.

Demokrasi hanya menjadi panggung permainan kekuasaan elite politik, politik personal, pertunjukan watak dan karakter para figur utamanya.

Demokrasi Indonesia belum mampu bergerak lebih maju. Belum menjadi tontonan yang lebih bermutu dan berkualitas.

Dalam perseteruan di Partai Demokrat, misalnya, kedua kubu jelas tidak mencerminkan nama partai ini: Demokrat. Tidak ada sikap Demokrat, baik pada Kubu AHY-SBY atau Kubu Moeldoko. Kubu pertama menerapkan kultur feodal, kekuasaan partai diturunkan dari bapak ke anak. Kubu kedua menggunakan cara-cara melanggar kepatutan formal etika berpolitik.

Kultur feodal kubu SBY-AHY memunculkan ketidakpuasan internal. Memicu perangai pseudo-preman Kubu Moeldoko. Menggelar Kongres Luar Biasa (KLB), sekadar untuk membuat aklamasi untuk mengambil alih partai.

Drama pertikaian di internal Partai Demokrat, juga perseteruan "jotakan" antara PDIP--Demokrat, Mega--SBY, masih ditunggu kelanjutan kisahnya. Pasca pertemuan putri-mahkoti dan putra- mahkota, Puan--AHY, di Senayan, mungkin akan membuka "dinamika" baru pertunjukan politik. Semua belum pasti, masih akan ada plot-twist yang tak terduga dan sulit diprediksi.

Tapi ada satu hal yang pasti. Politik di Indonesia pasca era reformasi, adalah panggung demokrasi tanpa para demokrat. Yang bermain dalam panggung demokrasi di Indonesia, saat ini, adalah para pemain, aktor dan aktris. Mereka bukan para demokrat yang bertarung untuk demokrasi.

Mereka bermain politik agar ditonton. Karena, ada ungkapan, politik adalah bisnis pertunjukan untuk yang kurang cakep. "Politics is show bussines for ugly people."

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com