Dimensi Lingkungan dalam Kecerdasan Artifisial

Di balik berbagai manfaatnya, AI juga memiliki dampak lingkungan yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam konsumsi energi.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI) kini semakin banyak digunakan untuk menangani berbagai tantangan lingkungan. Teknologi ini memungkinkan sistem atau mesin meniru kecerdasan manusia untuk menganalisis data dalam skala besar, mengenali pola, membuat keputusan, dan menyelesaikan tugas secara otomatis. Dengan kemampuan ini, AI membuka peluang besar dalam pemantauan perubahan iklim, transisi energi, hingga pengelolaan limbah. Namun, di balik manfaatnya, ada konsekuensi lingkungan yang perlu dicermati.

Salah satu kontribusi AI yang paling menonjol adalah dalam pemantauan dan prediksi perubahan iklim. Dengan menganalisis pola cuaca ekstrem—seperti badai, gelombang panas, dan banjir—AI membantu para ilmuwan memahami tren iklim dengan lebih akurat.

Di sektor energi, AI berperan dalam pengelolaan jaringan listrik pintar yang memungkinkan distribusi energi secara real-time. Sistem ini membantu mengurangi pemborosan energi sekaligus memaksimalkan pemanfaatan sumber daya terbarukan. Selain itu, AI juga mendukung transisi energi bersih dengan membantu integrasi energi hijau ke dalam jaringan listrik yang sebelumnya masih didominasi oleh bahan bakar fosil.

Selain energi, AI juga memberikan dampak signifikan di sektor pertanian. Petani dapat mengoptimalkan penggunaan air, pupuk, dan pestisida berdasarkan analisis data tanah dan cuaca. Hasilnya, produktivitas pertanian meningkat tanpa harus mengorbankan keseimbangan ekosistem. Di bidang pengelolaan limbah, AI dapat mengenali dan memisahkan jenis sampah dengan lebih akurat, meningkatkan efisiensi daur ulang, serta mengurangi jumlah limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir.

Semua inovasi menunjukkan bahwa AI menawarkan solusi konkret untuk berbagai tantangan lingkungan. Namun, efektivitasnya tetap bergantung pada bagaimana data dikelola, bagaimana infrastruktur dibangun, dan bagaimana kebijakan diselaraskan dengan tujuan keberlanjutan.

Di balik berbagai manfaatnya, AI juga memiliki dampak lingkungan yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam konsumsi energi. Proses pelatihan model AI berskala besar membutuhkan daya komputasi yang sangat tinggi, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap emisi karbon pemicu perubahan iklim.

Sebagai gambaran, pelatihan model Generative Pre-trained Transformer (GPT-3) diperkirakan menghabiskan sekitar 1.287 MWh listrik—setara dengan konsumsi energi tahunan lebih dari 120 rumah tangga di Amerika Serikat. Proses ini memungkinkan AI belajar dari data dan model buatan peneliti, insinyur, atau ilmuwan data, agar bisa melakukan berbagai tugas, seperti memahami bahasa, mengenali gambar, atau membuat prediksi. Saat ini, model AI yang lebih canggih seperti GPT-4.5 dan GPT-5 sedang dalam pengembangan, yang tentunya membutuhkan lebih banyak daya komputasi.

Yang nyata, konsumsi energi AI tidak hanya terjadi saat pelatihan model. Setiap kali pengguna mengajukan pertanyaan kepada chatbot (robot percakapan) berbasis AI, sistem harus menjalankan pemrosesan data yang kompleks di pusat data berkapasitas tinggi. Diperkirakan satu pertanyaan ke ChatGPT mengonsumsi sekitar 0,3 watt-jam listrik—jumlah yang sebanding dengan satu pencarian di Google atau setara dengan mengisi daya ponsel selama 10–20 detik. Jika dilihat per interaksi, konsumsi energinya memang kecil, namun ketika dikalikan dengan miliaran permintaan setiap hari di seluruh dunia, dampaknya menjadi signifikan.

Dengan semakin luasnya penggunaan AI, tantangan keberlanjutan menjadi perhatian utama. Upaya untuk mengembangkan model yang lebih hemat energi serta meningkatkan pemanfaatan sumber daya terbarukan dalam operasional pusat data menjadi langkah penting dalam mengurangi dampak lingkungan. Kesadaran akan tantangan ini juga telah mendorong para pemimpin dunia untuk mengambil langkah konkret. Pada AI Action Summit yang berlangsung di Paris pada 10–11 Februari 2025, berbagai negara menandatangani pernyataan bersama tentang pengembangan AI yang inklusif dan berkelanjutan.

Dokumen tersebut menegaskan bahwa AI harus dikembangkan dengan pendekatan terbuka, transparan, aman, serta berorientasi pada kepentingan manusia dan lingkungan. Kesenjangan digital juga menjadi perhatian utama, dengan komitmen untuk memperluas akses terhadap teknologi AI bagi negara-negara berkembang. Selain itu, tata kelola AI yang lebih kolaboratif juga ditekankan agar inovasi tidak hanya dikuasai oleh segelintir pihak, tetapi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas.

Negara-negara yang menandatangani pernyataan pada AI Action Summit pun berkomitmen untuk mendorong regulasi AI yang etis, melindungi hak asasi manusia, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com