Jalan Kesadaran Peradaban Melawan Kegelapan

Catatan untuk peluncuran buku "Dari Mimpi Peradaban Menuju Kelahiran Bangsa Berkesadaran" Connie Rahakundini Bakrie.

Indonesia terus menghadapi banyak persoalan, sambung-menyambung tak pernah rampung. Dari soal melindungi judi on-line; merusak lingkungan demi cuan tambang, mereklamasi dan memagari lautan; membangun (ibu) kota dengan menggusur; menghapus fakta dalam penulisan sejarah; hingga penyelenggara negara yang tak jelas ijazahnya. Menggadaikan negeri, menebar konsesi, korupsi, kolusi, dan manupulasi. Inikah wajah peradaban dan kesadaran Indonesia menjelang usia 80 tahun?

Hari-hari ini kesadaran berbangsa yang beradab sedang digerus-digusur oleh hasrat gelap kekuasaan. Rangkap jabatan dan bagi-bagi kekayaan di kalangan elite politik dan ekonomi dianggap sebagai kewajaran. Etika, moral, dan kesadaran berbangsa berada di titik nadir, stagnan, bahkan mundur. Alih-alih menuju Indonesia emas, rasa cemas dan gemas menggelayuti, apakah Indonesia masih punya masa depan? Atau mengarah menjadi negara gagal, bahkan bubar?

Apakah Indonesia masih bisa diselamatkan? Menurut Connie Rahakundini, masih mungkin. Dengan menyemai kesadaran untuk membangun peradaban ke-Indonesian sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa, dan belajar dari berbagai ajaran luhur dunia. Connie menulis buku "Dari Mimpi Peradaban Menuju Kelahiran Bangsa Berkesadaran" khusus untuk menyemai kesadaran itu. Bahkan merumuskan "10 Perintah Rahakundini" untuk upaya mewujudkannya.

Buku ini, bagi Connie, adalah "jejak spiritual dan intelektual dari perjalanannya menuju dunia yang lebih sadar. Dunia yang dibangun bukan berdasar ambisi melainkan sebagai kesatuan antara kemanusiaan, alam dan takdir." Connie berharap Indonesia akan menjadi negara paripurna yang sadar.

Buku ini merupakan percikan permenungan, yang bertaburan kutipan dari para pemikir besar--dari Dostoyevsky, Socrates, Soekarno hingga Tolstoy. Connie berdialog dengan "bangsa" yang ia panggil sebagai "Engkau". Namun "Engkau" yang ia ajak bicara boleh jadi adalah personifikasi proses sejarah semesta -- yang dalam konsep filsafat idealisme Hegel sebagai Roh Absolut. Entitas energi kehidupan, sang cosmos, yang beremanasi dalam ke-Indonesia-an.

Roh Absolut Hegelian adalah jiwa agung dibalik realitas dunia, proses evolusi kesadaran yang terus berkembang melalui dialektika sejarah. Roh yang terus bergerak, berubah, dan berwujud dalam pikiran manusia, karya seni, kebudayaan dan peradaban, yang belum usai dan sempurna. Belum paripurna. Ia berkembang lewat dialektika: dari satu gagasan (tesis), muncul tandingan (antitesis), lalu terjadi penyelarasan (sintesis). Proses dialektis ini terus berlangsung, sebagai panggung sejarah Roh Absolut menuju kesadaran penuh—melalui individu manusia dan entitas negara.

Bagi Hegel, sepertinya juga untuk Connie, negara adalah perwujudan tertinggi Roh Absolut di dunia dalam proses menggenapi "takdirnya". Negara bukan sekadar lembaga politik, tapi manifestasi kolektif kesadaran moral, hukum, dan kemerdekaan manusia. Bukan cuma alat untuk hasrat-syahwat kekuasaan individu yang lemah karakter dan nir-moral. Sebagai kesadaran kolektif, negara bakal menaklukkan siapapun individu manusia tiran, yang berlebihan rasa percaya dirinya dan merasa memiliki kekuasaan absolut. Dan kesadaran itu harus disemaikan serta diperjuangkan, bukan menunggu takdir.

Connie menyadari mewujudkan negara paripurna masih menjadi mimpi, dan membangun bangsa yang sadar perlu upaya besar. "Bangsa yang sadar tak dapat diciptakan oleh warga yang belum terbangun. Revolusi sejati harus bermula dari dalam diri," tulisnya.

Fyodor Dostoevsky dalam novel The Brothers Karamazov menulis, "kebaikan dan kejahatan sedang bertarung, dan medan perangnya ada dalam diri manusia" (God and the devil are fighting, and the battlefield is the human heart). Pergulatan kebaikan dan kejahatan bukanlah konflik eksternal, tetapi konflik internal yang terjadi dalam diri setiap individu manusia. Eksplorasi konflik batin ini, bagi Dostoevsky (yang diamini Connie), merupakan inti dari problem kemanusiaan. Pertarungan moral antara hakikat kesadaran untuk mengendalikan hasrat-syahwat gelap yang menguasai manusia.

Buku torehan percikan permenungan Connie --dengan gaya penulisan "naratif-puitis"--ini renyah untuk dikunyah. Buku ini ringkas, kurang dari dua jam bisa tuntas mencernanya. Membacanya seperti menyaksikan film political-thriller, pergulatan manusia penyebab situasi dunia yang porak-poranda ditemani pop-corn. Sebaiknya buku dibaca saat menjelang tidur, sebagai teman untuk membuai kita ke alam mimpi optimisme. Banyak kutipan bijak, petuah, dari pikiran bajik sebagai tutur-tinular menghadapi ketidakpastian dan kecemasan situasi politik domestik dan dunia.

Satu hal yang kurang disentuh buku ini adalah aspek sains dan teknologi. Mengupas soal "kesadaran dan peradaban," bagaimana upaya menumbuh- kembangkan, kurang afdol tanpa referensi neurosains. Juga tanpa merujuk perkembangan mutakhir teknologi era Artificial Intelligence (AI) yang saat ini sedang aktual mengharu-biru.

Tema upaya mensinergikan otak manusia dan kecerdasan mesin AI (brain-computer interface) adalah situasi yang tak terelakkan. Kesadaran politik boleh jadi memerlukan asupan kecerdasan kolektif yang kini sedang dibangun melalui AI. Termasuk juga kesadaran kosmik tentang kebajikan kemanusiaan dalam menempuh jalan kesadaran peradaban.

Buku ini terbit pada momen yang krusial. Menjelang 80 tahun Kemerdekaan Indonesia, dan 28 tahun Reformasi, saat kuasa gelap terus menyelimuti Indonesia. Kuasa gelap elite politik, aparat, teknokrat, birokrat, dan alat negara yang menjadikan hukum, sistem, dan aturan sebagai alat represi, menjadikan korupsi-manipulasi sebagai normalisasi. Kehendak kesadaran peradaban bisa padam jika kegelapan dibiarkan. Buku ini sedikitnya bisa menjadi secercah sinar untuk melawan kegelapan di Indonesia.

Jakarta, 18 Juni 2025

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]