Jokowi, Kenapa Kesusu dan Grusa-Grusu?

Dengan metode kesusu-grusa-grusu, Jokowi terbukti sukses melakukan pendakian sosial-politik (social-political climber). Menjadi sosok from zero to hero to wacko. Dari bukan siapa-siapa, menjadi perkasa, kemudian gila kuasa.

Rakyat Indonesia sedang dipaksa mengikuti gendang dan tarian politik Presiden Jokowi. Satu orkestrasi manuver petualangan politik kesusu dan grusa-grusu yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. 

Jokowi melancong ke China, mengikuti acara Belt and Road Forum for Internarional Cooperation, ketika salah satu koreografi tarian politiknya-- breakdance for breaking the law --dipertontonkan di depan publik. 

Di panggung Mahkamah Konstitusi (MK), rakyat Indonesia dibuat terpaku, termangu, dan terheran dengan pembacaan keputusan MK atas gugatan batas usia capres dan cawapres. Keputusan yang akan meloloskan putranya, Gibran Rakabuming, untuk menjadi cawapres, sekalipun usianya (36 tahun) belum memenuhi syarat.

Putusan sidang MK, penambahan klausul kalimat baru, menjadi mantra mujarab untuk mengabaikan UU Pemilu yang menjadi dasar hukum syarat legal-formal pengajuan capres-cawapres. "Usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden."

Sebagai keputusan hukum, sesungguhnya tidak terlalu aneh dengan klausul baru itu. Karena hukum adalah klausul yang disepakati dan dikodifikasi. Namun menjadi fenomenal dan kontroversial ketika perubahan ketentuan hukum itu dibuat secara kesusu dan grusa-grusu hanya demi satu tujuan: agar Gibran bisa dicalonkan sebagai kandidat Wapres.

Siapa gerangan Gibran, yang seolah begitu istimewa sebagai politikus, sehingga aturan bernegara harus "diluluhlantakkan"? Dan sebagian hakim MK harus dijungkir-balikkan logika pemikiran hukumnya? 

Gibran cuma wali kota biasa yang kebetulan anak sulung presiden. Ia bukan semacam messiah yang dinubuatkan oleh kitab-kitab agama, diturunkan ke dunia untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sehingga harus diperlakukan sedemikian istimewa.

Sejumlah guru besar tata negara, dua diantaranya pernah menjabat Ketua MK (Mahfud MD dan Jimly Asshiddiqie) sudah memperingatkan bahwa MK sebenarnya tidak berwenang mengubah ketentuan batas usia persyaratan pengajuan capres-cawapres. Perubahan, jika diinginkan, bisa dilakukan melalui revisi UU yang diusulkan dan disepakati DPR bersama pemerintah.

Dualitas keputusan MK itu menjadi kontroversial dan inkonsisten karena, meski melarang usia dibawah 40 namun membolehkan jika seseorang pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Kalaupun putusan MK itu valid, penerapannya seharusnya menunggu revisi UU Pemilu. Atau jika ingin kesusu_grusa-grusu Presiden Jokowi perlu mengeluarkan Perppu, sehingga putra kesayangannya bisa maju sebagai cawapres secara sah, legal, dan formal. Namun merevisi UU tentu perlu waktu, dan mengeluarkan Perppu perlu nyali.

Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan sering mengingatkan, terkait copras-capres, agar ojo kesusu, ojo grusa-grusu. Namun ia terbukti tidak mengamini ucapannya sendiri, ia sangat kesusu dan grusa-grusu  agar Gibran bisa dicawapreskan pada Pilpres 2024.

Kesusu-grusa-grusu sepertinya telah menjadi genetik politik keluarga Jokowi. Kini ia sedang mengaplikasikan metode ini untuk membangun dinasti kekuasaan. Ia adalah contoh nyata, bukti otentik, metode kesusu-grusa-grusu bisa memenangkan Pilpres. Ketika saat itu, pada Pilpres 2014, jabatannya sebagai Gubernur DKI baru berjalan dua tahun. 

Jokowi kemudian sukses mereplikasi genetik politik kesusu-grusa-grusu itu dengan menjadikan anak menantunya, Gibran dan Bobby Nasution, sebagai Walikota Solo dan Medan. Berlanjut menempatkan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI. Semua "prestasi' cikal-bakal kedinastian itu bisa dicapai hanya dalam tiga tahun terakhir.

Jokowi menciptakan mantra politik ojo kesusu ojo grusa-grusa, rupanya hanya berlaku untuk pihak lain, atau sekedar politik pura-pura. Mantra itu tidak berlaku untuk dirinya dan dinastinya. Karena ia tahu, ia harus kesusu dan grusa-grusu memanfaatkan momentum dan peluang untuk memenangkan dinastinya. Mumpung lagi berkuasa, dan sukses menjinakkan banyak parpol dan lembaga negara untuk tunduk pada kemauannya. 

Kesempatan dan momentum tidak datang dua kali. Jokowi berambisi ingin serba-cepat. Membangun IKN, kereta cepat, dan berbagai proyek infrastruktur secara cepat. Jokowi juga secara cepat berhasil menempatkan ipar, anak, dan menantu memegang posisi strategis, sebagai Ketua MK, wali kota, dan ketua partai.

Apalagi obsesi Jokowi? Sepertinya ingin cepat-cepat membangun dinasti politik untuk memastikan kekuasaannya dan legasinya terus berlanjut. Dengan metode kesusu- grusa-grusu, Jokowi terbukti sukses melakukan pendakian sosial-politik (social-political climber). Menjadi sosok from zero to hero to wacko. Dari bukan siapa-siapa, menjadi perkasa, kemudian gila kuasa.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com