Kejahatan Kemanusiaan Atas Nama Pengelolaan Apartemen

Jika Pemprov DKI, Dinas Perumahan, benar-benar "hadir" untuk serius bekerja mengawasi, mensupervisi, dan menegakkan aturan terkait hunian apartemen, maka sebagian besar persoalan akan bisa terselesaikan.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Populasi Jakarta makin padat, kebutuhan akan hunian yang layak terus meningkat. Namun luas wilayah Jakarta terbatas, lahan yang ada mustahil hanya dijejali rumah tapak (landed house). Maka hunian bertingkat, rumah susun atau apartemen, menjadi solusi.

Kecenderungan warga Jakarta untuk tinggal di apartemen mulai meningkat 20 tahun terakhir. Sebuah tren yang bagus agar Jakarta bisa lebih lega dan tertata, dan lahannya tidak disesaki kekumuhan rumah beratap merah. Namun apa daya, seiring meningkatnya minat warga Jakarta tinggal di apartemen, meningkat pula sengketa, konflik, antara penghuni dan pengelola apartemen.

Sengketa yang beberapa di antaranya bereskalasi sebagai kejahatan kemanusiaan. Seperti pemadaman paksa aliran listrik dan air, pemidanaan, hingga penghentikan akses lift pada penghuni yang terlambat membayar iuran atau tagihan.

Kejahatan pengelola apartemen memperlakukan warga penghuninya, yang notabene adalah pemilik unit apartemen, mirip perilaku penguasa penjajah pada warga jajahannya. Pengelola apartemen, dengan otoritasnya, bisa bertindak seenaknya mengeksploitasi, mempersekusi, dan mengintimidasi para penghuni.

Penghuni diperlakukan laiknya sebagai warga jajahan yang bisa diperas secara finansial, diancam, sekaligus dilecehkan harkat kemanusiaannya secara sewenang-wenang oleh pengelola apartemen.

Warga membeli unit apartemen yang tidak murah harganya, dengan harapan bisa memiliki tempat tinggal yang nyaman di kawasan kota. Namun justru harus menghadapi mimpi buruk, trauma, ketidaknyamanan, ancaman, dan konflik dengan pengelola yang mendapat kuntungan dari iuran yang harus mereka bayar setiap bulannya.

Sumber konflik di apartemen, antara penghuni vs pengelola, lazimnya ada tiga: Pertama, permainan "petak umpet" pada awal Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang berlanjut saat penandatanganan Akta Jual Beli (AJB). Banyak ketentuan dan klausul "bawah meja" hanya menguntungkan developer, yang kemudian menjadi otomatis pengelola. Ada sejumlah kasus, pembeli diminta untuk membayar iuran bulanan dan dana cadangan (sinking fund) bahkan sebelum resmi menerima kunci unit apartemen.

Kedua, tahap krusial, pembentukan P3SRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun). Ini merupakan sumber dari segala sumber persoalan. Di beberapa Apartemen P3SRS tidak terbentuk, atau kalaupun terbentuk hanya sebagai kepanjangan tangan developer, atau dikuasai "mafia sindikat" pengelola apartemen. Pembentukan P3SRS diatur dalam Peraturan Menteri PUPR, juga Peraturan Gubernur, namun dalam praktik sering mengabaikan peraturan itu. Dominasi, hegemoni, dan penundukan (penjajahan) pengelola atas penghuni dimulai dari pengabaian aturan ini.

Ketiga, ketika terjadi sengketa antara pengelola (P3SRS) dan penghuni, pengelola kerap memakai ancaman paksa memutus aliran listrik, air, dan akses untuk masuk ke unit. Ancaman ini efektif karena listrik, air, dan akses adalah kebutuhan basic penghun agar tetap bisa menempati unit apartemennya. 

Penghuni sering harus tunduk, pasrah, menyerah, dan tidak berdaya untuk melawan "kekerasan utilitas" ini, karena tidak ada mekanisme untuk mempersoalkannya. Khususnya ketika oknum pengurus P3SRS (cum pengelola) yang semustinya menjadi saluran aspirasi penghuni, bermental sok kuasa, bergaya preman, dan memiliki konflik kepentingan (mendapat keuntungan finansial sebagai pengurus cum pengelola).

Padahal di peraturan gubernur DKI pemutusan aliran listrik, air, dan akses jelas-jelas dilarang.. Pergub No. 70/2021, Pasal 102 C ayat (1) menegaskan: “Dalam hal terjadi permasalahan di lingkungan Rumah Susun Milik, PPPSRS dan/atau pengelola/pelaku pembangunan selaku pengelola sementara dilarang melakukan tindakan pembatasan dan/atau pemutusan fasilitas dasar."

Akar sengketa pengelolaan apartemen adalah transparansi, khususnya menyangkut keuangan. Perputaran uang iuran bulanan dan bisnis penyewaan unit retail apartemen bisa mencapai miliaran setiap bulannya. Aliran dana besar bulanan itu mudah menyilaukan pengelola apartemen yang bermental manipulatif.

Dana iuran bulanan penghun itui, selain untuk beaya utilitas, kerap dipakai untuk mempersekusi penghuni yang bersikap kritis mempersoalkan transparansi pengelolaan apartemen. Pengelola menyuap oknum aparat atau birokrat untuk berpihak ke mereka guna mempersekusi penghuni.

Situasi kondisisi tata pengelolaan (good governance) hunian apartemen sudah sangat mengkhawatirkan. Banyak penghuni yang menyesal, putus asa, dan trauma telah membeli unit apartemen yang dikelola oleh pengurus dan pengelola bergaya preman. Tentu, tidak semua apartemen mengalami situasi itu. Dinas Perumahan DKI setiap hari menerima pengaduan dari penghuni yang dizalimi pengelola apartemen, yang hampir 90% kasusnya terkait kinerja buruk pengelola dan P3SRS.

Pemprov DKI Jakarta perlu serius menangani persoalan ini, pemerintah harus hadir, melindungi warga yang dipersekusi. Pemerintah perlu membentuk satuan tugas khusus (task force) untuk merespon pengaduan penghuni apartemen. Secara proaktif memantau, mengawasi, mensupervisi pengelolaan apartemen. Termasuk membekukan dan menindak pengelola yang menyalahgunakan kewenanganya,

Perlu juga dibuka kemungkinan kebijakan buyback. Developer yang terus ingin menguasai pengelolaan apartemen membeli balik unit yang telah dibeli warga. Penghuni yang merasa traumatik dan putus asa, merasa telah tertipu rayuan dan janji developer apartemen yang tak terealisasi, sebagai salah satu solusi.

Jika Pemprov DKI, Dinas Perumahan, benar-benar "hadir" untuk serius bekerja mengawasi, mensupervisi, dan menegakkan aturan terkait hunian apartemen, maka sebagian besar persoalan akan bisa terselesaikan. Menghuni apartemen di Jakarta jadi terasa nyaman dan ada kepastian aturan.

Apartemen bukan lagi sebagai hunian yang penuh sengketa, scam, dan kesewenang-wenangan. Layaknya seperti wilayah jajahan, tempat pengelola apartemen bisa leluasa bersimaharajalela melakukan kejahatan, dan tragedi, kemanusiaan.

Seperti tragedi yang dialami seorang ibu, penghuni apartemen di kawasan Ancol, suaminya meninggal, dalam kondisi hunian apartemennya dimatikan aliran listrik, air dan aksesnya. Contoh aksi premanisme barbar pengelola apartemen yang terjadi di negeri Pancasila ini.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com