Melawan Politik Oligarki Jokowi

Oligarki politik di Indonesia semakin mengarah menjadi gergasi politik yang tak terbendung, konsekuensi dari permainan politik manipulatif yang dterapkan Jokowi dengan dukungan para kroni penguasa-pengusaha yang mengelilinginya. 

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Tidak ada yang menyangka, menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi menjadi sosok pembunuh demokrasi. Matinya demokrasi di Indonesia bukan karena dibunuh oleh ideologi kediktatoran, seperti komunisme atau fasisme, atau melalui kudeta militer. Melainkan oleh sosok populis, Jokowi, yang naik ke kekuasaan pada 2014, terpilih secara demokratis. 

Demokrasi di Indonesia hendak dibunuh melalui proses pemilu, pemilihan presiden, yang penuh kecurangan dan manipulasi . Hukum, sistem, dan institusi demokrasi dipakai dan disalahgunakan, untuk memenangi Pilpres dengan menghalalkan segala cara.. Rakyat memang masih memberi suara dalam pemilu, namun proses pemunguran dan penghitungan suara itu sekedar formalisasi praktik politik kotor.

Upaya Jokowi membunuh demokrasi digulirkan secara sistematis. Dimulai dari wacana tiga periode, penundaan pemilu, dan perpanjangan masa jabatan lresiden Puncaknya adalah langkah Jokowi menabrak konstitusi, menggunakan institusi Mahkamah Konstitusi, dengan memaksakan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang tidak memenuhi kriteria administratif, menjadi calon wakil presiden. Juga memasang anak kedua, Kaesang Pangarep, menjadi Ketua Partai Solidaritas Indonesia.

Berbagai kecurangan diorkestrasi Jokowi dan operator politiknya untuk memenangi Pilpres 2024. Berbagai kecurangan, termasuk memakai penyuapan, money politics, intimidasi dan menggunakan aparat negara dilakukan Jokowi. Namun kekuatan Jokowi sesungguhnya ada di belakang layar, yaitu kekuatan oligarki politik, para pimpinan partai politik yang berkoalisi untuk mendukung agenda dan ambisi politik Jokowi. Dan kekuatan oligarki politik itu mendapat dukungan logistik dan finansial dari oligarki ekonomi, para pengusaha yang bisnisnya semakin membesar di era Jokowi, 10 tahun terakhir. Mereka, para taipan, yang dikenal dam dijuluki sebagai "Sembilan Naga".

Oligarki Politik

Oligarki adalah pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang dan dikendalikan oleh sekelompok orang untuk melanggengkan keinginan dan kepentingan mereka. Kekuasaan oligarkis sudah muncul sejak ribuan tahun lalu, di era negara kota seperti Sparta dan Athena, era Romawi, hingga era modern, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. 

Oligarki adalah manifestasi buruknya tata kelola pemerintahan. Negara cenderung dikuasai oleh segelintir elit politik, bersifat eksklusif, dan berperilaku mirip kartel bisnis. Para oligark biasanya adalah penguasa-pengusaha (pengpeng), mereka kaya-raya, memiliki privilese, dan tidak perduli dengan kondisi masyarakat. Oligarki adalah wujud sesat dari aristokrasi, yang berlawanan dengan demokrasi (pemerintahan oleh rakyat). Namun, oligarki sering muncul beriringan dengan demokrasi.

Lazim berlaku dalam sistem demokrasi yang cacat (flawed democracy) , prosedural, dan belum terkonsolidasi dengan baik. Demokrasi procedural cenderung melahirkan oligarki, kelas penguasa yang cenderung melindungi kepentingan kekuasaannya. Partai politik adalah organisasi yang memberi justifikasi dominasi kelompok elite atas masyarakat. Hegemoni elite yang terpilih atas rakyat yang memilih.

Dengan demikian seringkali oligarki dan demokrasi berroperasi dalam sistem yang sama secara manunggal. Manifestasinya kemudian menjadi sistem plutokrasi (negara yang dikelola orang-orang kaya) dan kleptokrasi (negara yang dikelola oleh para pencuri dan pemungut upeti (pajak) untuk memperkaya kelompok elite.

Dalam sistem oligarki yang plutokratik dan kleptokratik, political briibery menjadi norma. Segala kesepakatan politik dan policy semata-mata hanyalah transaksi kepentingan. Dalam situasi ekstrem, bisa berlaku satu persen oligark menguasai 90% ekonomi dan kekayaan negara, rakyat terpuruk dalam kemiskinan.

Mengapa demokrasi yang cacat mudah menjadi oligarki? Karena pemerintahan, selaku penguasa anggaran, mampu membeli loyalitas, mengontrol hukum, memanipulasi informasi, menyalahgunakan birokrasi, dan segala prosedur penyelenggaraan kekuasaan. Semua kontrol itu bisa dipakai untuk membuat keputusan yang seolah-olah legalistik, demokratis, dan partisipatif. Di Indonesia, praktek terlihat dalam penyusunan dan pengesahan UU IKN, UU Cipta Karya (Omnibus Law), revisi UU KPK, UU Minerba, revisi UU TNI-Polri, dan sebagainya, sepuluh tahun terakhir.

Memperkuat Demokrasi Substantif

Dalam kajian politik terdapat teori "Hukum Besi Oligarki", yang diintroduksi oleh sosiolog Jerman, Robert Michels, dalam buku Political Parties (terbit 1911). Ia menyatakan bahwa semua organisasi yang kompleks, terlepas dari seberapa demokratis ketika dimulai, pada akhirnya akan berkembang menjadi oligarkiis. 

Michels mengamati tidak ada organisasi besar dan kompleks (termasuk partai politik) yang dapat berfungsi murni secara demokratis. Dalam organisasi selalu ada pendelegasian kewenangan dan keputusan kepada individu-individu dalam organisasi tersebut, baik yang dipilih maupun tidak.  Partai Politik, bagi Michels , "adalah organisasi yang memberikan kekuasaan kepada yang dipilih atas para pemilih."

Jika teori Hukum Besi Oligarki itu valid, apakah berarti demokrasi tidak bisa bebas dari oligarki? Tidak juga, oligarki kalaupun tidak sepenuhnya bisa dilenyapkan, setidaknya bisa diminimalisasi. Agar demokrasi bisa bertahan dan berjalan, maka sejumlah prasyarat berikut musti berlaku:

1. Masyarakat yang berkarakter otonom dan independen perlu dibangun secara bottom up..Memiliki otonomi dalam berpolitik dan independen secara ekonomi, danemiliki kebebasan untuk berekspresi dan berorganisasi.

2. Menerapkan sistem federasi dan otonomi penuh, namun tetap dalam kerangka negara kesatuan. Agar tidak berlaku pemusatan kekuasaan dan administrasi birokratis yang sentralistik dan hirarkis. Kekuasaan pemerintahan perlu sebesar mungkin terdesentralisasi. Masing-masing wilayah (provinsi) bisa leluasa mengatur diri sendiri, membuat aturan yang selaras dengan karakteristik daerah itu (customize regulations and policies).

3. Perlu menerapkan proses sortition (pengundian) sebagai alternatif election, untuk pengisian jabatan-jabatan publik. Agar penyalahgunaan proses pemilihan bisa diminimalisasi.

Era Globalisasi, dengan karakteristik pemain utama korporasi multi-nasional, bisa menempatkan pemerintahan nasional di bawah kendali transaksional korporasi kapitalis global. Pemilahan wilayah publik dan privat menjadi kabur, karena korporasi ikut dalam lobi-lobi untuk menentukan produk legislasi demi mengamankan kepentingannya (contoh gamblang adalah pemberian status "Proyek Strategis Nasional" untuk proyek swasta seperti PIK dan BSD). 

Privatisasi policy semacam itu lebih mengutamakan profit korporasi ketimbang kesejahteraan masyarakat (public welfare). Dan pada akhirnya, pemerintahan yang oligarkis dan korporasi saling menyusui. Relasi conflict of interest politik dan ekonomi menjadi norma yang wajar, korporasi berkelindan menjadi birokrasi. Oligarki menyempurnakan diri menjadi Leviathan politik yang tidak bisa dipersoalkam. 

Oligarki politik di Indonesia semakin mengarah menjadi gergasi politik yang tak terbendung, konsekuensi dari permainan politik manipulatif yang dterapkan Jokowi dengan dukungan para kroni penguasa-pengusaha yang mengelilinginya. Praktik politik oligarki yang makin merajalela ini tidak boleh berlanjut, harus dihentikan dan diberantas. Itu adalah ancaman sekaligus tantangan bagi pemerintahan baru era 2024 - 2029.

*******

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com