Menggusur Miskomunikasi Proyek Strategis Nasional

Sebaiknya penggusuran dihentikan dulu sampai pemerintah mampu berkomunikasi secara baik dengan warga, dan ada kepastian komunikasi tidak lagi mis.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Presiden Jokowi menjanjikan warga yang lahannya terkena proyek Rempang Eco City, Batam, akan mendapatkan ganti rugi berupa tanah seluas 500 meter persegi dan rumah tipe 45. Jokowi menyampaikan janji itu setelah tiga hari berturut-turut terjadi bentrok kekerasan antara warga Pulau Rempang, Batam, dengan tim gabungan aparat penegak hukum, sejak 7 September 2023.

Jokowi menganggap ada "miskomunikasi" terkait rencana pembangunan megaprojek Rempang Eco City, seluas 17.000 hektar. Proyek swasta rancangan PT Makmur Elok Graha (MEG), berkerjasama dengan investor Cina, akan menggusur 16 perkampungan yang turun temurun dihuni warga sejak puluhan tahun lalu. Sedikitnya 5.000 warga akan digusur atau direlokasi.

Proyek swasta Rempang Eco City dimasukkan sebagai Program Strategis Nasional (PSN) 2023. Uniknya status PSN itu baru disahkan pada 28 Agustus 2023, sebagai kawasan industri dan wisata baru. Proyek yang diharapkan bisa menjadikan Batam mampu bersaing dengan Singapura.

Badan Pengusahaan Batam menggandeng PT MEG, milik Tomy Winata, untuk mengembangkan seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Total investasi akan mencapai Rp381 triliun, hingga tahun 2080. Pulau Batam merupakan salah satu pulau terbesar dari rangkaian 329 pulau kecil di Kepulauan Riau. Luasnya 415 km2 atau 67% luas dari Singapura.

Kawasan Batam digagas pada era Presiden Soeharto sebagai lokomotif pembangunan nasional untuk menjadi pusat industri dan teknologi. Pada era Presiden Habibie, yang juga Ketua Otorita Batam selama 20 tahun (dari 1978 - 1998), dikembangkan konsep Barelang (Batam, Rempang, Galang) menghubungkan tiga pulau itu dengan 6 jembatan. Sehingga Batam (plus Barelang) luasnya menjadi 715 km2, lebih besar dari Singapura.

Akar persoalan konflik di pulau Rempang dan Galang sudah terjadi sejak 2002. Saat itu pengelolaan lahan diberikan ke PT Dewa Menara Wisata, milik Tommy Winata. Warga memprotes karena beredar info kawasan itu akan dibangun menjadi tempat perjudian dinamai Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif (KWTE). Proyek tidak berlanjut, status quo, karena adanya dualisme otoritas antara Pemda kota Batam dan Badan Otorita Batam--yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Batam pada 2008.

Hasrat untuk mengembangkan pulau Rempang dan Galang, menjadi kawasan "wisata" baru di Batam muncul kembali. Terinspirasi oleh kesuksesan Singapura membangun dua kompleks wisata perjudian (kasino) di Sentosa dan Marina Bay pada 2009. Namun, agaknya terjadi "miskomunikasi" dalam upaya membangun Batam bersaing dengan Singapura.

Warga Pulau Rempang menolak keras penggusuran dan relokasi dari kampung nenek moyang mereka. Warga meminta agar kampung mereka tidak digusur, sehingga tetap bisa tinggal di kampung halaman tempat nenek moyang mereka. Mereka ingin melanjutkan tradisi kehidupan yang turun temurun telah mereka jalani selama ratusan tahun. Warga Melayu di Pulau Rempang merasa terancam bakal tercerabut dari akar budaya dan penghidupan mereka, jika harus relokasi.

Kasus Rempang, Batam, hanya satu contoh problematik berbagai proyek strategis nasional (PSN) di era Pemerintahan Jokowi. Proyek pembangunan yang memicu konflik dengan warga lokal, akibat "miskomunikasi", yang praktiknya adalah penggusuran atau pencemaran lingkungan. Ada sejumlah kasus PSN yang bermasalah, dari proyek tambang andesit di Wadas (Jawa Tengah), tambang emas Tumpang Pitu, Banyuwangi (Jawa Timur), hingga Tambang nikel Morowali dan Wawonii (Sulawesi Tenggara).

Konflik terjadi seringkali karena sengketa lahan, investor yang didukung aparat negara menggusur warga setempat yang sudah menghuni kawasan itu selama berpuluh-puluh tahun. Selain penggusuran, terjadi pengrusakan alam, hancurnya ekosistem hutan, bukit, sungai dan laut. Persoalan itu diperburuk dengan cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat polisi atau tentara untuk meredam protes warga.

Pembungkaman aspirasi, menghadapi protes warga dengan kekerasan, peminggiran masyarakat adat, marjinalisasi penduduk asli, adalah tipikal pendekatan pembangunan era pemerintahan otoriter di era Orde Baru. Di era pasca reformasi, Presiden Jokowi mereduksi cara-cara pendekatan yang cenderung otoriter dan melanggar hak asasi manusia itu dengan istilah yang lebih lunak, yaitu: "miskomunikasi".

Jika soalnya cuma miskomunikasi, sebaiknya penggusuran dihentikan dulu sampai pemerintah mampu berkomunikasi secara baik dengan warga, dan ada kepastian komunikasi tidak lagi mis. Agar Proyek Strategis Nasional tidak terus-menerus menjadi urusan gusur-menggusur warga.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com