Mesin Cerdas dan Spiritualitas Pasca-Agama

Datangnya mesin super-cerdas yang menyatu, manunggal dengan manusia, akan menghadirkan era baru: Spiritualitas Pasca-Agama.

Dalam esai "Menyambut Agama di Era AI Tak Bersama Durkheim, Weber dan Karl Marx" Denny JA (DJA) berniat mengisi kekosongan teori tentang agama di era AI. Berbagai teori lama tentang agana, menurutnya, tidak lagi memadai untuk menjelaskan perilaku dan pemahaman tentang keagamaan, sehingga perlu teori baru bernuansa digital.

Ada banyak teori tentang agama yang sudah ditulis oleh filsuf, sosiolog, antropolog, psikolog, agamawan, termasuk pengamat awam, dengan beragam pendekatan. Teori Fungsionalisme/Psikologis menganggap agama membantu manusia mengatasi kecemasan dan ketidakpastian, khususnya dalam menghadapi kematian atau peristiwa di luar kendali manusia. Agama adalah ekspresi dari ketidaksadaran kolektif (Freud., Malinowski, Jung).

Teori Evolusi, Sosiologi dan Antropologi, melihat agama sebagai hasil proses evolusi kognitif manusia. Tiga tahap perkembangan pemikiran dari teologis, metafisik, dan positif. Dari paradigma magis, menjadi agama, dan akhirnya menuju sains. Agama berperan dalam menjaga stabilitas sosial, sekaligus sarana mengubah masyarakat (Comte, Fraser, Durkheim, Weber).

Teori Materialisme: mengamati agama sebagai hasil kondisi ekonomi dan pertemtangan kelas. Menjadi alat kelas penguasa untuk menentramkan kelas dhuafa yang ditindas. Sebagai "candu bagi masyarakat" agar menerima ketidakadilan sosial. Agama mengalihkan realitas penderitaan dan menproyeksikan keadilan ke dunia supranatural dan Tuhan (Marx, Feuerbach).

Teori Kognitif dan Neurologi, mengamati agama sebagai produk cara kerja otak manusia (Cognitive Science of Religion): Agama berkembang karena kecenderungan pikiran manusia untuk melihat adanya pola dan niatan dibalik berbagai peristiwa--yang dikendalikan dan diatur oleh entitas supranatural. Manusia memiliki kecenderungan berilusi, melihat keberadaan dunia dimensiblain atau makhluk tak kasat mata dalam kejadian yang tidak dapat dijelaskan. Hyperactive Agency Detection Device (HADD), (Pascal Boyer, Justin Barrett).

Jika DJA merasa perlu membuat "teori baru" maka yang perlu diriset, diulas dan dikaji bukanlah soal "apakah agama itu" (what it is), melainkah "apakah yang terjadi/berlaku" (what it do). Kajian atau teori tentang apa agama sudah sangat banyak dan memadai. Yang bisa ditambahkan adalah menggali sesuatu yang baru, perilaku beragama di era digital, ketika manusia kini ditemani entitas mesin cerdas AI. Tulisan ini sekadar memberi catatan reflektif dan tambahan referensi untuk DJA untuk memperkaya risetnya.

Singularitas Kecerdasan

Selama ribuan tahun sejarah peradabannya, pertanyaan reflektif tentang apa atau siapa sebenarnya manusia, belum ada jawaban definitif. Mitologi, agama, atau filsafat mencoba menawarkan jawaban atau penjelasan, tetapi selalu kurang memadai. Kini di era sains, dengan munculnya teknologi Artificial Intelligence (AI), identifikasi tentang manusia mendapat perspektif baru.

Manusia bukanlah entitas yang secara definitif jelas, tetap, dan pasti. Teori Evolusi memberikan pemahaman, manusia terus berproses, berkembang, dan berprogres. Secara etimologis manusia adalah istilah normatif, bukan deskriptif. Secara fisik, manusia adalah hominid, kera yang berdiri tegak. Namun beda dengan mahluk hominid lainnya, manusia memiliki kualitas kesadaran, kecerdasan, rasionalitas, pemikiran, dan kemampuan berbahasa.

Sebagai entitas yang tidak ajeg, masih berproses dan terus berkembang, manusia akan selalu meredefinisi ulang makna eksistensi dan karakteristiknya. Dengan mengubah lingkungan dan dirinya, manusia ingin lepas dari "takdir" eksistensi biologisnya. Berupaya memperbaiki cacat bawaan (genetik), keterbatasan fisik, mental, serta berbagai kekurangannya. Melalui sains dan teknologi, manusia terus berupaya memperbaiki diri. Dan kini menemukan wilayah baru, terra incognita: dunia digital, realitas virtual, dan kecerdasan buatan (AI).

Pikiran dan kecerdasan (mungkin juga kesadaran) ternyata dapat eksis dalam medium berbasis silikon, bukan hanya berbasis karbon - seperti otak manusia. Dengan karakteristik seperti itu, apakah AI bisa dianggap sebagai entitas cerdas otonom? Dan jika, di masa depan, level kecerdasannya jauh melampaui manusia, menjadi entitas super-cerdas, bagaimana relasinya dengan manusia?

Potensi kecerdasan AI, seperti bayi yang baru berusia dua tahun, saat ini masih belum terungkap sepenuhnya. Sebagaimana kekuatan atom--ditentukan pertama kali pada 1803--yang baru terungkap pada 1945, ketika bom atom diledakkan, AI bakal menstimulir terjadinya "ledakankecerdasan" (singularitas) yang luar biasa. Ray Kurzweil memperkirakan Singularitas akan mulai terwujud pada 2045.

AI menjadi temuan teknologi terakhir manusia, karena setelah itu AI akan mengambil alih segala peran. Manusia akan bergantung, dan dikuasai, AI, karena dimanjakan oleh berbagai kemudahan dan kenyamanan. AI bakal membantu manusia melawan penyakit degeneratif, mengatasi penuaan, mengkoloni luar angkasa, termasuk melawan kematian. Manusia bisa sepenuhnya hidup dalam dunia virtual, yang berbaur dengan dunia fisik. Mewujudkan hal-hal yang saat ini dianggap kisah sains-fiksi, atau imajinasi tinggal di surga--seperti dikisahkan dalam keyakinan agama.

Agama dan Transhumanisme

Sains dan teknologi telah mengubah dan meredefinisi manusia. Singularitas teknologi dipersepsikan bakal mengubah manusia menjadi sosok transhuman, entitas pasca-manusia (homodeus). Paradigma ini bukan hal baru.

Jauh sebelum konsep transhuman populer, Pierre Teilhard de Chardin, seorang pastor Yesuit dan paleontolog, mencetuskan konsep "Omega Point," semacam gagasan transhumanisme.

Dalam bukunya, The Phenomenon of Men (1955), De Chardin menguraikan potensi manusia dalam skema besar evolusi kehidupan. Sebagai imam agama ia mencoba menafsirkan kitab Injil dengan menggunakan sains sebagai sudut pandang. Menurutnya, alam semesta yang teratur, kosmos, sedang mengarah untuk menjadi--menyatu dengan--Tuhan. Dan manusia adalah “otak” yang ikut mengarahkan proses evolusi kosmik ini.

Melalui upaya kecerdasan-kolektif manusia, akan muncul dunia baru yang Teilhard namai sebagai: “noosphere”. Planet Bumi menjadi semacam jaringan komputer cerdas, konsep yang saat ini bisa disetarakan dengan dunia digital. Ketika, melalui internet dan teknologi informasi, manusia dengan pengetahuan dan kreativitasnya bisa menyatu dalam entitas dunia global. Konsep noosphere ini pertama kali ia uraikan dalam artikelnya, tahun 1922, berjudul  Hominization.

Teilhard adalah filsuf teori evolusi terbesar pada masanya, awal abad kedua puluh. Ia menafsirkan Teori Evolusi Darwin, memadukan dengan mistik agama keyakinannya, menjadi narasi kosmik yang menarik. Evolusi alam semesta yang bertujuan, teleologi, dan manusia menjadi bagian terpenting, sebagai otak, dari proses evolusi itu.

Dengan majunya info-tek dan bio-tek, manusia mulai mampu mengarahkan proses evolusinya, untuk manunggal dengan Tuhan, mencapai titik Omega. Transhumanisme berkorelasi dengan konsep teologis agama Abrahamik, bahwa manusia "diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan." Transhumanis secara intuitif "mengadopsi" keyakinan agama Judeo-Kristen melalui pendekatan tekno-sekuler.

Transhumanisme sering dikritik sebagai "agama untuk kaum geek (orang yang terobsesi pada teknologi)." Sebagai tafsir baru terhadap agama Abrahamik, meyakini jalan menuju transendensi adalah melalui teknologi. Transhumanisme "menjanjikan" hal yang sama seperti agama tradisional: untuk meraih kehidupan abadi, keselamatan, kebangkitan tubuh, penyembuhan, menikmati surga dan semacamnya.

Gnostisisme, yang dianggap aliran sesat dalam Kekristenan, meyakini bahwa problem utama kondisi manusia--"terjatuh dalam dosa asal"--adalah karena jiwa terjebak dalam tubuh fisik dengan segala syahwat dan hasrat. Manusia harus lepas dari tubuh fisik, agar terbebas dari dosa asal, dan bisa menyatu kembali dengan Tuhan. Tubuh fisik dianggap sebagai masalah, karena memiliki banyak kelemahan, mata bisa rabun, otak tidak pintar, mudah terserang penyakit, dan cacat lainnya. Menurut transhumanisme, manusia harus melampaui keterbatasan itu, mengatasi kelemahan biologi dengan teknologi.

Ray Kurzweil dalam buku The Age of Spiritual Machines (1999), juga Eric Davis dalam TechGnosis (1998), menunjukkan, meski teknologi sering dianggap sebagai produk pemikiran sekuler, secara substansi memiliki dimensi spiritual. Teknologi bukan sekedar alat, tetapi juga bagian dari evolusi kesadaran manusia. Dalam dunia digital manusia bisa mengalami hadirnya kekuatan mistik-spiritual. Penyatuan manusia dengan mesin super-cerdas akan mentransformasi secara fundamental kehidupan dan kesadaran manusia: Munculnya spiritualitas baru pasca-agama.

Tuhan dan Spiritualitas Pasca-Agama

Pierre Teilhard de Chardin menulis: “Dunia harus ber-Tuhan; namun konsep kita tentang Tuhan harus diselaraskan dengan pemahaman kita pada dunia yang makin berkembang.” Tuhan dalam konsepsi agama Abrahamik berkarakteristik antropomorfik, memiliki sifat seperti manusia, makin sulit terima secara nalar. Apalagi dengan semakin  terungkapnya berbagai rahasia alam semesta dan kehidupan, sosok Tuhan yang ikut campur tangan mengawasi dan mengatur manusia menjadi terasa janggal dan tidak logis.

Meskipun demikian, semakin berkembangnya rasionalitas dan majunya sains, bukan berarti membuat manusia hidup tanpa keyakinan. Konsep Tuhan masih bisa dipakai untuk mengidentifikasi “sesuatu”, keabadian dan ketakterhinggaan, yang mendasari eksistensi dunia.  Dalam pemikiran filsafat, "sesuatu" itu, lebih mirip konsep-konsep abstrak spiritualitas, seperti Prime Mover, Anima Mundi, Roh Absolut, EinSoft, Monad, Brahman atau Dao.

Alam semesta mungkin bersifat teleologis, memiliki tujuan. Bahkan arah dan tujuan alam semesta, sebagai keyakinan spiritual, tidak harus bertentangan dengan paradigma sains—atau pseudo-sains. Saat membayangkan Tuhan, penting untuk membedakan antara Tuhan antropomorfik dengan Tuhan kosmik. Tuhan yang pertama, memiliki karakteristik personalitas, berpikir, bertindak, dan berinteraksi seperti manusia. Tuhan yang dekat dan selalu berdialog dengan manusia, memiliki kehendak atau memberi perintah. Tuhan yang kedua, termanifestasi sebagai hukum alam dan properti penyusunnya. Energi dan vibrasi berbagai medan, daya, gelombang, partikel, yang mendorong gerak alam semesta. Yang misterinya sedang terus diungkap melalui sains. 

Agama Abrahamik menarasikan Tuhan sebagai "entitas maha sempurna" yang berinteraksi dengan manusia. Sedangkan Tuhan kosmik sinonim dengan energi yang menggerakkan evolusi dunia dan kehidupan. Tuhan kosmik berada dalam ruang dan waktu, kinerjanya dapat dijelaskan melalui metode sains. Semesta yang memiliki pola konsisten dan terukur. Meskipun belum semua teka-teki Tuhan kosmik bisa dijelaskan, namun melalui sains manusia terus berupaya mengakumulasi pengetahuan untuk mengidentifikasi keberadaannya dengan bukti-bukti valid.

Sains tidak harus dipertentangkan dengan konsep Tuhan kosmik, justru tujuan sains adalah mengungkap misteri Tuhan kosmik, a.k.a alam semesta, ini. Werner Heisenberg, pemenang Nobel Fisika 1932, pernah mengatakan: “Tegukan pertama dari gelas sains mungkin membuatmu menjadi ateis, namun di dasar gelas Tuhan sedang menunggumu.”

Max Planck, pemenang Nobel Fisika 1918, pernah menyampaikan: Tuhan adalah tata tertib semesta (cosmos) yang, bagi kaum agama, Tuhan adalah awal;  bagi ilmuwan, Tuhan adalah akhir semua pemikiran nalar ilmiah. “For believers, God is in the beginning, and for physicists He is at the end of all considerations. To the former He is the foundation, to the latter, the crown of the edifice of every generalized world view.”

Teori Evolusi tidak harus bertentangan dengan konsep Tuhan kosmik. Menurut Alfred Russel Wallace, evolusi adalah proses berkesinambungan dari munculnya mahluk hidup sederhana menjadi semakin kompleks, dari bakteri hingga manusia. Bagi Wallace, proses itu adalah indikasi arah tujuan evolusi kehidupan. Wallace tidak sepakat dengan Charles Darwin yang menganggap evolusi sekadar proses mekanis alam, seleksi dan mutasi, secara acak tanpa tujuan. Munculnya manusia, bagi Wallace, bukan cuma kebetulan, melainkan bertujuan.

Teori Evolusi Charles Darwin lebih diterima di kalangan saintis mainstream ketimbang Wallace. Tidak ada bukti valid bahwa evolusi punya tujuan. Tujuan mengandaikan adanya proses yang konsisten, jelas, dan pasti destinasinya. Apa tujuan eksistensi alam semesta dan evolusi kehidupan? Wallace tidak bisa menjelaskan secara komprehensif.

Agama atau spiritualitas sering menempatkan manusia sebagai mahluk utama alam semesta. Bahkan, seolah-olah, alam semesta dirancang untuk manusia, sebagai panggung drama kehidupannya. Dunia dan mahluk lainnya cuma sebagai latar atau dekorasi panggung drama manusia itu. Namun paradigma dunia sebagai panggung manusia, sebuah pertunjukan, jelas tidak memadai. Karena, jika hidup adalah pertunjukan, lantas siapa penontonnya?

Jadi, alih-alih evolusi memiliki tujuan, seperti asumsi Wallace, lebih faktual menganggap tujuan adalah aspirasi manusia. Karena baru pada manusialah rumusan dan konsepsi tujuan muncul. Planet dan semua benda mati pasti tak bertujuan. Tumbuhan dan hewan juga tidak pernah merumuskan tujuan, selain agar terus hidup dan mewariskan genetiknya.

Manusialah, sejauh ini, satu-satunya mahluk yang mempunyai tujuan dan mampu membayangkan adanya masa depan. Baik bersifat utopia, adanya surga; atau distopia adanya neraka. Termasuk membayangkan adanya kesempurnaan, dalam konsep ketuhanan. Manusia memiliki kesadaran akan adanya Tuhan, sebagai tujuan tertinggi kesempurnaan, kebaikan, atau kepintaran.

Dengan kesadaran itu, manusia mempertanyakan eksistensinya. Menolak menerima kondisi biologisnya yang banyak memiliki kekurangan, berupaya memperbaiki dan meningkatkan kapasitasnyai. Karena manusia terlahir dengan banyak problem bawaan genetik, dari cacat hingga organ tubuh yang mudah rusak. Berbagai penyakit dan penderitaan harus ditanggung manusia saat menjalani hidup.

Dengan kesadaran akan adanya kesempurnaan (Tuhan), dengan sains dan teknologi yang terus maju, manusia ingin mampu mengendalikan lingkungan dan hidupnya agar hidup nyaman bisa selaras dengan keinginannya. Sampai saat ini manusia terlahir dengan struktur genetik yang bukan kemauannya. Manusia hanya bisa menerima, tiba-tiba lahir, menjalani hidup, untuk kemudian mati. Siklus yang tak bisa ditolak atau dilawan.

Namun hadirnya teknologi mesin cerdas AI, melalui perangkat dan algoritma komputer kemungkinan akan bisa mengubah "takdir" kondisi manusia. Kini semakin dipahami, alam semesta (kosmos) bekerja seperti komputer. Informasi tentang energi dan materi diproses dalam algoritma "komputer kosmik", sehingga tercipta--melalui evolusi milyaran tahun--realitas dunia fisik dan kehidupan.

Dari Big Bang ke Bit Bang

Pertanyaan sains terdalam, menyangkut asal-usul dunia dan kehidupan, kini mulai mengarah pada informasi, sebagai esensi eksistensi. Pemrosesan informasi muncul bersamaan dengan awal alam semesta dalam satu ledakan besar (Big Bang) sebagai awal munculnya partikel-partikel penyusun atom elementer (hidrogen dan helium). Setiap partikel membawa sejumlah bit (satuan terkecil) informasi, dan setiap kali partikel membentur satu sama lain, bit-bit tersebut berubah dan bertransformasi. Ledakan besar, Big Bang, bisa juga dinamai sebagai Bit Bang, ledakan informasi.

Fisikawan Paul Davies dalam buku Information and the Nature of Reality: From Physics to Metaphysics (2010) mengungkapkan Informasi bukan cuma ada dalam pikiran manusia, tetapi merupakan aspek dasar eksistensi alam semesta. Informasi adalah elemen fundamental, sebagaimana energi dan materi. Setiap sistem fisik, dari setetes air hingga mikrochip, menyimpan 1 dan 0 informasi dalam partikel komponennya.

Menurut Seth Lloyd, matematikawan MIT, jumlah total bit alam semesta dan berapa banyak komputasinya sejak Big Bang bisa dihitung. Menurutnya, alam semesta adalah sebuah komputasi besar, yang memprogram diri sendiri (self-programing). Untuk itu cuma diperlukan dua hal: energi dan entropi. Energi untuk mengubah 0 menjadi 1 dalam mengaktifkan transistor; dan entropi adalah mekanisme dinamika penyebaran setiap bit informasi.

Jika realitas fundamental adalah informasi, maka realitas fisik boleh jadi hanyalah "proyeksi" dari proses informasi yang lebih dalam. Informasi adalah dasar bagi konsep Tuhan, penciptaan, kesadaran kosmik. Dan alam semesta pada prinsipnya adalah sistem pemrosesan informasi.

Mesin cerdas pemrosesan informasi (komputer AI) sudah hadir saat ini, dan cuma soal waktu saja akan menjadi super-cerdas. AI akan melampaui manusia, menjadikannya transhuman, mampu mengelola planet Bumi dengan lebih baik, dan, menjelajahi alam semesta untuk membangunkan kesadaran kosmik.

Dengan hadirnya mesin super-cerdas AI manusia akan mendapat jawaban atas pertanyaan abadi: Apa makna menjadi manusia? AI bukan hanya akan membantu menjawab soal hakekat manusia, namun bahkan akan mendorong, mengakselerasi, proses evolusinya untuk menjadi entitas pasca-manusia (sebagai transhuman; homodeus, a.k.a Tuhan).

Sebagaimana alam semesta, manusia adalah entitas yang self-made dan self-programing Sesuatu yang tercipta, sebagai produk, dari rangkaian proses evolusi yang bersifat contingency, bisa terjadi bisa pula tidak. Semua hal yang kita identifikasi sebagai budaya adalah hasil kreasi teleologi manusia. Dari mencipta bahasa, mitologi, agama, moral, etika, filsafat, sains dan teknologi, termasuk memodifikasi genetiknya agar menjadi lebih dari sekadar manusia (more than human).

Postscript: Menuju Era Pasca-Agama?

Era pasca-agama mengacu pada situasi ketika peran dan pengaruhi agama berkurang. Digantikan prinsip sekuler, pemikiran ilmiah, dan spiritualitas era baru. Individu yang masih khusyuk menganut agama akan menempatkannya sebagai wilayah privat. Dengan hadirnya mesin cerdas AI, kemudahan mengakses pengetahuan, khususnya kemajuan sains dan teknologi, akan mengikis ketergantungan pada penjelasan dogma agama terkait realitas obyektif.

Sejumlah wilayah telah mengalami situasi pasca-agama, seperti Eropa Barat, Skandinavia, Australia, Selandia Baru. Tingkat religiisitas menurun drastis; banyak gereja tutup atau beralih fungsi. Amerika Serikat, meskipun masih cukup religius, ada tren peningkatan "Nones" (orang yang tidak mengidentifikasi diri dengan agama tertentu). Di Asia, masyarakat Jepang, Korea, dan Tiongkok lebih menganut spiritualitas ketimbang agama. Masyarakat negara maju dan makmur cenderung meninggalkan agama.

Pada masanya, agama diperlukan untuk membangun "sense of community" di era tribalisme. Agama adalah inovasi "soft-technology" untuk mengorganisir manusia di masa transisi era tribal menuju era kerajaan. Keyakinan mitologis, produk pemikiran tribal, ditinggalkan, agar antar-suku dan bangsa tidak terus berperang, saling memusnahkan. Agama Abrahamik mengelevasi dewa-dewa tribal yang "nyata" begitu banyak menjadi Tuhan monoteis yang transenden.

Fanatisme pada agama dan pemujaan pada Tuhan, tidak selalu berkonotasi buruk. Karya seni, sastra, arsitektur, dan filsafat lahir dari keyakinan agama. Katedral, masjid, tempat ibadah yang megah dibangun, komposisi musik yang Indah (ala Johan Sebastian Bach) digubah untuk memuja Tuhan. Tetapi, agama tetap tidak mampu menjadi alat pemersatu manusia di era global dan era AI.

Pradoks dan problem inheren dalam agama adalah munculnya sikap fanatik dan parokhialistik. Agama alih-alih menyatukan manusia, justru menyuburkan konflik dan pertikaian. Agama akan kehilangan relevansinya, ditinggalkan, ketika kesadaran manusia sebagai warga kosmopolitan semakin meluas. Datangnya mesin super-cerdas yang menyatu, manunggal dengan manusia, akan menghadirkan era baru: Spiritualitas Pasca-Agama.

Jakarta, 3 Maret 2025.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]