Lebih dari seminggu setelah penobatan Jokowi sebagai finalis tokoh terkorup dunia 2024 oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) kontroversi terus terjadi. Polemik dan perang opini berkecamuk.
Jokowi dan pendukung fanatiknya berupaya membela diri dengan mempersoalkan kriteria, metode, dan pembuktikan anugerah "tokoh terkorup". Juga menyerang kredibilitas OCCRP sebagai lembaga. Mencoba membunuh si pembawa pesan, "kill the messenger."
Kontroversi korupsi Jokowi vs OCCRP ini mengingatkan, deja vu, kisah korupsi Soeharto vs Time. Laporan investigasi majalah Time, edisi 24 Mei 1999, memaparkan Presiden Soeharto dan keluarganya menyimpan kekayaan hingga $15 miliar di bank asing, termasuk di Swiss dan Austria. Artikel itu menguraikan bagaimana kekayaan Soeharto diperoleh melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme selama 32 tahun kekuasaannya..
Time melaporkan keluarga Soeharto mengakumulasi kekayaan melalui penggelapan dana negara, serta penerimaan komisi dari berbagai proyek pemerintah dan swasta. Kekayaan tersebut dikelola melalui jaringan perusahaan keluarga, berbagai yayasan yang dikendalikan Soeharto, dan disimpan di berbagai bank di luar negeri. Time menyebutkan adanya aliran dana besar yang dicurigai dipindahkan ke Swiss, Austria, dan negara kepulauan di Pasifik Selatan, menjelang pengunduran diri Soeharto pada Mei 1998.
Soeharto menggugat Time telah melakukan "pencemaran nama baik", menuntut ganti rugi sebesar $27 juta. Proses hukum yang berliku memakan waktu selama 10 tahun. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (2000) menolak gugatan, tidak terbukti bahwa reputasi Soeharto rusak atau nama baiknya tercemar karena laporan Time.
Soeharto mengajukan banding, Pengadilan Tinggi (2001) menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Namun Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Soeharto, pada 2007. MA memutuskan bahwa Time bersalah melakukan pencemaran nama baik. Time harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1 triliun kepada keluarga Soeharto dan meminta maaf.
Akhirnya, dalam putusan Peninjauan Kembali (PK), pada 2009, MA membatalkan putusan kasasi. MA menyatakan, Time tidak terbukti melakukan pencemaran, dan laporannya dianggap sebagai bagian dari kebebasan pers.
Apa pelajaran. lesson learned, yang bisa diambil oleh Jokowi--dan para pemuja fanatiknya --dari proses hukum korupsi Soeharto ini? Jokowi perlu mengikuti jalan Soeharto, menggugat OCCRP, untuk membuktikan dia korup atau tidak.
Seperti majalah Time, OCCRP adalah lembaga yang kredibel. Sama-sama lembaga jurnalisme, bedanya, Time adalah perusahaan media (majalah), OCCRP yang berdiri pada 2006, adalah organisasi nir-laba, fokus pada investigasi untuk mengungkap kejahatan terorganisir dan korupsi di seluruh dunia.
Sebagai jaringan jurnalis, media, dan organisasi dari 50 negara, OCCRP bergiat mempromosikan transparansi, akuntabilitas, pemberantasan korupsi, serta kejahatan terorganisir. OCCRP menyelidiki jaringan kriminal, penyalahgunaan kekuasaan, dan pencucian uang. Membuat laporan berbasis analisis data (finansial) dan dokumen hukum.
OCCRP memiliki track-record yang bagus dalam membongkar skandal keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Produk kolaborasi investigasinya yang terkenal (bersama ICIJ - International Consortium of Investigative Journalist) adalah "Pandora Papers" (2021), "Paradise Papers" (2017), dan "Panama Papers" (2016), mengungkap jaringan offshore yang digunakan untuk menyembunyikan kekayaan para politikus dan pengusaha korup. Juga skandal "Russian Laundromat", yang membongkar pencucian uang oleh kelompok kriminal dan elit politik Rusia.
Jadi, jika OCCRP memasukkan Jokowi ke dalam finalis "Corrupt Person of the Year 2024", tentu memiliki basis validitas faktual. Jokowi dinominasikan bersama tokoh korup lainnya, seperti Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, dan pengusaha India Gautam Adani.
Jokowi menjadi finalis, sebagai runner up, karena mendapatkan suara cukup banyak. Label tokoh terkorup memang hasil survei persepsional. Sebagai "fakta jurnalistik", bukan fakta hukum. Namun jika para pendukung fanatik Jokowi ngotot ingin ada bukti, tentu bisa dibuktikan, melalui investigasi dan proses pengadilan.
Secara kasat mata, Jokowi sebagai presiden terbukti mengkorupsi sejumlah lembaga negara, dari MA, Kepolisian, Kejaksaan, KPK, hingga KPU untuk kepentingan kekuasaannya, termasuk menjadikan putra sulungnya, Gibran Fufufafa, sebagai wakil presiden. Mengkorupsi lembaga negara dan memanipulasi pemilu, seperti yang dilakukan Jokowi, adalah praktik korupsi yang lebih tinggi, jauh lebih merusak ketimbang sekedar korupsi finansial. Korupsi kebijakan, sebagai kepala negara, lebih sistemik. Pembuktiannya memerlukan penyelidikan tim pencari fakta independen level negara.
Jadi "korup atau tidak korup kah Jokowi?" Jika korupsi dipahami secara spesifik terkait nominal nilai uang yang dicuri, cukup mudah diselidiki. Dengan menghitung legalitas pertambahan kekayaan finansial keluarga Jokowi 10 tahun terakhir.
Silahkan Jokowi dan pendukung fanatiknya masuk ke ranah hukum, menggugat OCCRP, membantah tuduhan korupsi itu di pengadilan. Menyelaraskan fakta jurnalistik dengan fakta hukum. Sebagaimana Soeharto dulu membantah keras tuduhan Time, dengan menyatakan "saya tidak punya uang satu sen pun". Laporan Time justru terbukti memperkuat tuntutan publik agar kekayaan Soeharto diusut.
Gugatan hukum Jokowi pada survei OCCRP, juga akan mendorong tuntutan publik agar korupsi Jokowi diusut. Itu pelajaran penting Soeharto untuk Jokowi.