People Power ala Amien Rais

Respon yang paling pas, terhadap seruan people power Amien, adalah dengan mengabaikan. Membiarkan Amien dengan celotehannya, sebagai hiburan politik yang kurang lucu, di hari tuanya.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Amien Rais berulah lagi. Kembali ia menyerukan ingin menggelar “people power" untuk menumbangkan kekuasaan Presiden Jokowi. Seruannya disampaikan di kota Solo, kota kelahiran Jokowi, yang akan ia "acak-acak" untuk menginisiasi revolusi rakyat ini.

Agitasi menggelar people power, secara terbuka, sudah pernah diserukan Amien Rais, empat tahun lalu, menjelang dan usai pelaksanaan Pilpres 2019. Saat itu, ia berharap, rakyat akan turun ke jalan, berdemonstrasi menolak hasil pilpres yang menurutmya “penuh kecurangan”. Curang, karena hasil pilpres tidak memenangkan kubunya (saat itu ia mendukung kubu Prabowo). Ajakan people power tidak bersambut, rakyat menerima dengan baik hasil Pilpres 2019. Termasuk Prabowo yang menerima hasil pilpres, dan kemudian dapat posisi sebagai Menteri Pertahanan.

Kali ini gairah Amien untuk menggelar people power bangkit kembali, dan ingin memulai dengan "mengacak-acak Solo". Namun, syahwat politik ini segera dipadamkan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming, yang juga putra sulung Jokowi merespon, "halah santai wae. Acak-acaken nek Wani."

Tidak seperti seruan people power Amien 2019, yang sempat menjadi polemik dan perbincangan di media mainstream dan media sosial, kali ini ajakan People Power 2023 nya tidak cukup bergaung. Sepertinya publik sudah mahfum dengan senilitasnya yang lebih mirip "nafsu politik besar, apa daya kurang pikiran."

Amien, bersama Megawati dan Gus Dur, dikenal sebagai figur penggerak "people power" yang menjatuhkan Soeharto, pada 1998. Namun, Amien perlu menyadari, ia bukan lagi figur yang ucapannya didengar publik. Ia bukan shaman politik yang dengan rapalan dan agitasinya bakal mampu menghipnotis publik. Ia perlu menyadari, people power memerlukan momentum sejarah, kondisi ekonomi dan politik negara yang "acak-acakan" untuk bisa terjadi.

Saat ini, yang terjadi adalah sejumlah kekecewaan dan ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan Jokowi. Kondisi ekonomi yang tak membaik, hutang yang terus membengkak, dan politik oligarkis. Situasi yang tidak cukup kuat untuk menginsiprasi agitasi ajakan people power ala Amien. Khususnya, melihat popularitas Jokowi yang cenderung semakin meningkat menurut hasil survei politik.

Tapi, memang yang dimaksud Amien dengan People Power adalah cuma ajakan untuk unjuk rasa. Amien sekadar ingin mengorganisir demonstrasi, setidaknya secara verbal, untuk menyuarakan ketidakpuasan. Unjuk rasa sebagai ekspresi ketidakpuasan politik yang sah dan diperbolehkan dalam sistem demokrasi.

Amien boleh saja berharap atau berilusi, seruan politiknya akan menjadi gelombang gerakan people power. Namun people power memerlukan prasyarat situasi politik-ekonomi yang dramatik untuk bisa terjadi. Ketidakpuasan personal, kelompok, atau kubu politik jelas tidak memadai untuk menggerakkan rakyat.

People Power adalah gerakan sosial-politik yang masif sebagai ekspresi kemarahan publik secara umum. Mayoritas rakyat tidak puas atas kinerja penyelenggara kekuasaan, dan menumbangkan rezim hegemonik adalah satu-satunya jalan untuk mengubah situasi politik.

People power terjadi di berbagai negara, pada era 1960-1980, sering dikenal sebagai gelombang demokrasi kedua yang melanda dunia. Istilah ini populer ketika rakyat Philipina menumbangkan rezim Ferdinand Marcos pada 1986. Dalam konteks Indonesia gerakan people power memaksa mundurnya Presiden Soeharto dan tumbangnya rezim Orde Baru.

Gerakan people power mengasumsikan bahwa kekuasaan adalah mandat dari rakyat; jika kekuasaan disalahgunakan maka rakyat mencabut mandat itu. Dalam sistem otoriter, mandat didapat dan dicabut melalui aksi demonstrasi masif. Dalam sistem demokrasi, proses mencabut mandat kekuasaan dilakukan melalui pemilu (pilpres). Dengan demikian pemilu atau pilpres adalah manifestasi People Power juga.

Amien, sebagai kubu oposisi, berupaya menggaungkan people power, sebagai slogan, untuk menyemangatkan dan meyakinkan diri, melalui pers konference.  Namun tentu tidak lazim ingin menginisiasi people power dengan konferensi pers. People power tidak bisa dirancang atau diagendakan (termasuk dijadikan slogan). Ada ungkapan " tidak ada gladi resik dalam revolusi", yang hanya bisa terjad karena situasi yang menekan, meluasnya ketidakpuasan politik, ekonomi, sosial. 

People power selalu bersifat post-factum, diketahui setelah terjadi. Gerakan aspiratif-masif tidak akan disebut People Power jika gagal  mengubah situasi yang menjadi tuntutan. Dan jika gerakan itu hanya membuat keonaran, acak-acakan, dan mengganggu ketertiban umum, hanya akan dianggap melanggar hukum. Atau jika menuntut pemerintahan tumbang, melalui aksi kekerasan, maka bisa dikategorikan upaya melakukan makar.

Amien sebaiknya tidak perlu mengobral frasa People Power dan media massa tidak perlu serius mengeksposenya. Di sisi lain, aparat pemerintah juga tidak perlu terlalu bersikap reaksioner, terhadap ekspresi publik, terkait people power.

Respon berlebihan, pada hasutan Amien, dengan menggunakan aparat hukum, hanya akan mengancam sistem demokrasi, menciptakan martir politik. Respon yang paling pas, terhadap seruan people power Amien, adalah dengan mengabaikan. Membiarkan Amien dengan celotehannya, sebagai hiburan politik yang kurang lucu, di hari tuanya.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com