Presiden Jokowi mengatakan, menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024, posisinya sering dimanfaatkan. Fotonya kerap dipakai di baliho atau spanduk, dipasangkan dengan capres tertentu.
Jokowi menyampaikan, melihat banyak baliho memajang fotonya bersama salah satu capres, saat berkunjung ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, sampai di desa, ia menemukan fotonya dipakai untuk promosi capres.
“Saya paham, ini sudah jadi nasib seorang presiden. Dijadikan paten-patenan dalam bahasa Jawa. Dijadikan alibi, dijadikan tameng, walau kampanye belum mulai, foto saya banyak dipasang di mana-mana,” kata Jokowi.
Pernyataan bernada "keluhan, untuk diperhatikan" itu disampaikan Presiden Jokowi dalam acara resmi kenegaraan. Dalam Sidang Tahunan MPR, di Senayan, sehari menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-78.
Tapi, benarkah itu keluhan, atau semacam peringatan atas "penyalahgunaan" foto tertuju pada capres tertentu? Tidak. Jokowi hanya menginformasikan. Menyampaikan kabar, agar didengar langsung oleh para elite politik dalam sidang tahunan yang disiarkan secara langsung oleh berbagai media. Jokowi tidak mempersoalkan, bahkan mengizinkan. Boleh-boleh saja.
Jokowi sama sekali tidak berkeberatan, bahkan mempersilahkan fotonya untuk dipajang. "Enggak apa-apa, boleh-boleh saja,” ucapnya dalam pidato resmi, disambut gelak tawa peserta sidang MPR.
Jadi, apa poin Jokowi perlu melaporkan dalam Sidang Tahunan MPR, jika fotonya dipakai untuk kampanye salah satu capres? Sepertinya, sekadar ingin menyampaikan betapa ia sangat populer, sehingga ada capres yang membutuhkan dukungan dan menumpang popularitasnya. Dan itu bukan soal.
Yang menarik, mengapa cuma satu capres, yang getol memajang foto "kampanye" advertorial itu, ketika masa kampanye belum resmi diperbolehkan? Dalam pidatonya, Jokowi tidak menyebut sosok capres itu, namun publik sudah mahfum, capres itu adalah Prabowo.
Foto dan Baliho Prabowo bersama Jokowi memang betul terpajang di banyak lokasi. Bersama foto itu tertulis berbagai slogan kampanye Capres Prabowo: "Menang Bersama untuk Indonesia Raya"; "Untuk Indonesia Terus Maju"; "Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh", dan sebagainya.
Saat mendarat di Bandara Sorkarno-Hata, dalam perjalanan ke pusat kota, kita akan melihat sejumlah baliho promosi capres terpampang. Ada baliho Capres Ganjar Pranowo, ada juga Capres Prabowo. Namun cuma baliho Prabowo yang ada foto Jokowi. Baliho Capres Ganjar sendirian.
Agak mengherankan, melihat baliho foto Ganjar sendirian, terpampang bersebelahan dengan baliho-baliho foto Prabowo yang "mesra" bersama Jokowi.
Sebagai sesama kader PDIP, lebih logis melihat baliho promosi berisi foto capres Ganjar dan Jokowi. Namun itu tidak terjadi, tidak--atau belum--ada baliho itu.
Apakah ini cuma kebetulan? Prabowo lebih berani mengklaim Jokowi berada di pihaknya. Atau baliho foto itu cerminan realitas politik Pilpres, tentang siapa Capres yang bakal didukung Jokowi?
Di Indonesia, para politikus gemar mengutip adagium "politik adalah seni segala kemungkinan". Itu artinya, politik adalah seni bagaimana memasang foto dalam baliho.
Politik adalah sebuah permainan atau tontonan visual. Ibarat pertunjukan drama, skenario plot cerita politik di Indonesia tidak tuntas ditulis sebelum pertunjukan dimulai.
Alur kisah drama politik ditulis bersamaan saat pertunjukan sedang berlangsung, dengan segala improvisasi, plot-twist, teka-teki, dan misterinya. Ending-nya sulit diketahui sampai drama berakhir.
Yang sudah pasti, baliho promosi berisi foto-foto, adalah "spoiler", bocoran untuk para penonton dalam memahami permainan politik. Penting untuk mendalami seni politik tebak-menebak dukung-mendukung. Kemesraan Prabowo-Jokowi dalam bingkai foto baliho, boleh jadi realitas politik, atau sekedar poster promosi adegan drama politik. Kita tidak pernah tahu.
Karena, politik di Indonesia memang sulit diprediksi. Politik bukan soal kejelasan ideologi, visi-misi, platform, program, atau policy. Tapi cuma soal foto dan baliho. Sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi dalam pidatonya di depan sidang tahunan MPR.