Politik Sirkus Para Pencuri Perhatian

Politik cuma untuk mencuri perhatian dan atensi publik. Agar para politikus, pemain sirkus itu, bisa selalu manggung dan dapat untung, setelah pertunjukan usai. Mereka mencari honor penghasilan, bukan honor sebagai kehormatan.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Dalam jagat perpolitikan ada ungkapan populer: "There may be honor among thieves, but there's none in politicians". Satu sarkasme untuk menunjukkan betapa sulit memegang komitmen atau kehormatan di kalangan politikus. Sikap "keadaban" yang tidak dimiliki politikus.

Bahkan para pencuri tidak akan saling mencuri antar-mereka, karena ada "kode perilaku" (code of conducts) yang mereka junjung dan taati.

Pencuri, pencopet, dan pengutil--kaum kriminal kecil--saling menghormati. Mereka tidak akan saling ganggu wilayah operasi. Juga tidak mungkin mengkhianati kawan seprofesi, karena sikap camaraderie sebagai "partners in crime."

Kualitas itu tidak dimiliki politikus, yang tidak mengenal kode etik atau kode perilaku berpolitik. Mereka mengamini politik itu kotor, segala cara dibenarkan dan dihalalkan untuk memenangkan kekuasaan. Karena memang itulah tujuan berpolitik.

Situasi terbaru konfigurasi perkoalisian untuk menyusun pasangan capres-cawapres menunjukkan kebenaran ungkapan ironis kekotoran politik itu. Patgulipat untuk bersiasat, jika perlu dengan menikam kawan seiring (backstabbing) adalah soal biasa, lumrah-lumrah saja.

Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, sukses mengorkestrasi perubahan mendadak Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Memasangkan Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, sebagai bakal capres dan cawapres, tanpa perlu mengkomunikasikan dengan partai anggota koalisi lainnya (Partai Demokrat dan PKS).

Saat terjadinya perubahan mendadak konfigurasi perkoalisiaan itu, PKB masih menjadi bagian Koalisi Indonesia Maju (KIM). Muhaimin juga tidak merasa perlu berkomunikasi atau pamitan pada anggota KIM, yang dikomandoi Prabowo Subianto, sebagai bakal capres psangannya.

Koalisi Indonesia Maju (KIM), uniknya, juga merupakan perombakan baru patgulipat perkoalisian. Sebelumnya, koalisi ini bernama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), hasil kesepakatan Gerindra-PKB. Koalisi KKIR mengubah diri menjadi KIM, dengan masuknya Partai Golkar, PBB, dan PAN.

Dengan mundurnya Cak Imin, untuk maju sebagai pasangan Anies, apakah KIM masih akan memakai nama koalisi "maju"? Atau perlu mengubah nama menjadi Koalisi Indonesia Mundur (KIM) dan balik lagi menamai diri KKIR?

Perubahan nama koalisi, maju-mundurnya, atau gonta-ganti pasangan koalisi, sepertinya bukan soal penting dalam perpolitikan Indonesia. Selain cuma sebagai asesoris, dekorasi panggung politik.

Sehari setelah mengumumkan pasangan Anies-Imin, Surya Paloh berdalih: "Koalisi (Perubahan) masih ada, atau setengah ada, kami belum tahu juga," kata Paloh. Ia menghormati pilihan Partai Demokrat--yang merasa dikhianati-- jika ingin hengkang dari KPP.

Dalam ekosistem politik seperti itu, saling jegal, saling tikam, saling mengkianati adalah "norma" yang lumrah. It is a rule not exception.

Politik nilai, sebagai common ground untuk mengorganisasi masyarakat, memperjuangkan kepentingan dan kemaslahatan bersama. Sebagai prinsip yang perlu ditunjukkan oleh para politikus, tidak berlaku.

Politik praktis di Indonesia saat ini mempecundangi politik nilai, etika dan perilaku politik yang berkeadaban. Politik nilai hanya disuarakan, sebagai mantra pelipur lara untuk politikus atau parpol yang sedang prihatin karena terkena prank atau dikhianati politikus koalisinya.

Di Indonesia, politik telah menjadi "pertunjukan sirkus". Kepiawaian para badut sulap, berjumpalitan, berakrobat, saling mendorong dan menjegal di atas panggung sebagai tontonan hiburan, untuk mencuri atensi dan perhatian penonton.

Tidak ada diskursus substantif menyangkut platform, policy atau ideologi. Sebagai lazimnya politik yang ditawarkan ke publik untuk memilih dan memberikan suara.

Politik cuma untuk mencuri perhatian dan atensi publik. Agar para politikus, pemain sirkus itu, bisa selalu manggung dan dapat untung, setelah pertunjukan usai. Mereka mencari honor penghasilan, bukan honor sebagai kehormatan.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com