Vonis ala Mafia untuk Tanah Sengketa

Perang melawan mafia sesungguhnya, bukan sekadar memenangkan keadilan. Perlu ada pemihakan pada korban, rakyat yang tanahnya diserobot oleh konglomerasi perusahaan pengembang yang lapar tanah, para mafia.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Budihardjo sehari-hari adalah Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), lembaga yang mengadvokasi dan membela kasus sengketa tanah rakyat. FKMTI berdiri untuk mempersoalkan praktik penguasaan tanah oleh konglomerasi. Ironi terbesar, Budihardjo dan istrinya, Nurlaela Sinaga, justru menjadi korban kriminalisasi mafia tanah.

Dalam sidang yang digelar Selasa, 3 Oktober 2023, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, memvonis Budihardjo dan Nurlaela bersalah, dan dihukum dua tahun penjara. Mereka diadukan oleh PT Sedayu Sejahtera Abadi (SSA), anak perusahaan Grup Agung Sedayu, dianggap telah melanggar Pasal 266 KUHP ayat 2 KUHP tentang pemalsuan surat. Jaksa menuduh mereka menggunakan dokumen palsu dalam transaksi jual beli tanah.

Pada Januari 2023, Budihardjo dan Nurlaela ditahan, sempat mendekam dua bulan di penjara. Penahanan kemudian ditangguhkan, setelah muncul aksi solidaritas masyarakat dan sejumlah publik figur.

Kasus yang menimpa Budihardjo dan Nurlaela jelas bukan kasus sengketa tanah biasa. Namun upaya untuk membungkam para pembela korban mafia tanah. Ada konspirasi aparat hukum dengan pengembang mafia tanah. Pemenjaraan mereka adalah rekayasa untuk membungkam dan meneror korban mafia tanah di seluruh Indonesia, agar tidak bersuara. Mafia tanah memperalat aparat hukum, polisi dan jaksa, untuk membuat takut rakyat yang menjadi korban.

Kasus ini berawal ketika Budihardjo membeli beberapa bidang tanah pada 2006. Tanah itu dibeli dengan kepemilikan berdasarkan tiga girik: Girik C No. 1906 (luas 2231 m²) atas nama A. Hamid Subrata; Girik No. C. 5047 (548 m²) atas nama Eddy suwito; dan Girik No. 391 (7480 m²) atas nama Hasim Bin Gering. Setelah membeli lahan seluas 10.259 m² itu, Budihardjo menjadikan tanahnya sebagai gudang tempat penyimpanan kontainer dan bangunan untuk penjaga keamanan. Tanah yang kemudian menjadi sengketa adalah tanah Girik 1906 dan 5047.

Persoalan muncul ketika penjual, Abdul Hamid Subrata, mengurus sertifikat atas tanah tersebut pada 2006. Pihak BPN menyampaikan bahwa bidang tanah yang dibeli Budihardjo itu sudah ada sertifikat hak guna bangunan (SHGB) No. 1633 atas nama PT Bangun Marga Jaya (BMJ). PT BMJ mengklaim telah membeli tanah tersebut pada 1997, padahal--menurut pengacara Budihardjo--PT BMJ tercatat baru berdiri setelah tahun 2000, jika dirunut berdasarkan SK Kemenkuham.

Abdul Hamid menggugat perdata PT BMJ ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dan memenangkan gugatan itu hingga berkekuatan hukum tetap. Namun, PT BMJ menggugat balik putusan inkrah tersebut dan menang. Abdul Hamid bahkan sempat ditangkap pada 2008, yang kemudian berujung pada perdamaian antara dia dan PT BMJ.

Persoalannya, tanah itu sudah menjadi hak Budihardjo selaku pembeli, sesuai akta perjanjian perikatan jual beli (PPJB) dan sudah dibayar lunas. Artinya, Abdul Hamid sebenarnya tidak memiliki lagi legal standing untuk melakukan perdamaian dengan PT BMJ, sebagai anak perusahaan Agung Sedayu Group.

Sengketa beralih ke Budihardjo vs PT BMJ, terus berlanjut dan semakin berlarut-larut, bahkan kemudian terjadi aksi kekerasan. Pada 2010, Budihardjo mempersoalkan aksi perampasan 5 kontainer yang berada tanahnya yang dilakukan PT Sedayu Sejahtera Abadi (SSA). Selain itu, pintu masuk dan keluar lahan tanah dipagar, juga terjadi pengeroyokan dan pemukulan. Aksi kekerasan ala preman itu diduga dimobilisasi PT SSA. Budihardjo melaporkan kasus perampasan dan kekerasan itu ke kepolisian, namun laporan tidak ditindaklanjuti. PT SSA justru dengan leluasa bisa membangun ruko dan perumahan di lahan itu.

Selama lebih dari delapan tahun berikutnya (hingga 2018) Budihardjo terus berupaya memperjuanglan haknya atas tanah yang telah ia beli. Perkara kekerasan yang ia alami dan laporkan sempat dilimpahkan ke Bareskrim Polri, namun kemudian dihentikan.

Kepolisian menganggap tidak cukup bukti adanya kekerasan dan perampasan, meskipun jelas ada bukti visum kekerasan, perampasan kontainer, dan penyerobotan lahan. Setelah selama lebih dari 13 tahun memperjuanglan hak atas tanah yang telah dia beli, kini Budihardjo dan istrinya justru divonis penjara selama dua tahun.

Budihardjo mungkin saja teledor, telah membeli dan membayar lunas PPJB tanah yang statusnya Girik, sebelum ada sertifikat. Namun, sengketa hukum antara Budihardjo dan Agung Sedayu Group ini tipikal kasus sengketa tanah masyarakat melawan mafia tanah. Disinyalir, konglomerat menguasai 80 persen tanah di Infonesia. Dan mereka terus rakus berupaya memperluas penguasaan tanah.

Kriminalisasi yang terjadi pada pasangan Budihardjo dan Nurlaela kental bernuansa politis. Konglomerasi mafia tanah menggunakan hukum untuk mempersekusi dan membungkam aspirasi rakyat. Bukan tidak mungkin pemenjaraan Ketua FKMTI adalah upaya sistematis dan terstruktur untuk membungkam suara rakyat yang menuntut hak atas tanah.

Ironisnya, keserakahan dan sepak terjang mafia tanah sudah berulang kali disinggung oleh Presiden Joko Widodo. Dalam sejumlah kesempatan, presiden menyampaikan perang terbuka terhadap mafia tanah. "Jangan beri ampun mafia tanah"; "kalau masih ada mafia tanah, gebuk." Presiden bahkan secara khusus menugaskan Menteri Agraria dan Tata Ruang (Kepala Badan Pertanahan Nasional), Hadi Tjahjanto, untuk serius melawan mafia tanah.

Namun perintah presiden itu seperti dianggap angin lalu, bahkan diabaikan. Praktik mafia tanah, sebagai persekongkolan aparat pemerintah (BPN), aparat hukum (kepolisian, kejaksaan dan kehakiman), dan pengusaha besar terus berlanjut dengan leluasa, bussiness as usual.

Perang melawan mafia sesungguhnya, bukan sekadar memenangkan keadilan. Perlu ada pemihakan pada korban, rakyat yang tanahnya diserobot oleh konglomerasi perusahaan pengembang yang lapar tanah, para mafia. Perang dengan mafia tanah perlu serius digalakkan, sebagai upaya menjaga wibawa pemerintah dan eksistensi negara. Bahwa negara masih ada dan hadir. Perlu ada Reformasi pertanahan (land reform), jutaan hektar lahan di seluruh Indonesia, sekitar 80%, telah dikuasi konglomerasi mafia. Negara tidak boleh kalah pada mafia tanah.

Melawan mafia tanah artinya mengawal permintaan Presiden Jokowi yang ingin memberantasnya. Namun setahun menjelang usainya jabatan presiden, kasus perampasan tanah justru terus meningkat. Juga persekusi pada aktivis yang menyuarakan persoalan tanah, seperti yang kini menimpa Budihardjo dan Nurlaela. Vonis dua tahun yang dijatuhkan padanya menunjukkan gelagat, mafia tanah telah menguasai pengadilan.

Menyaksikan pembacaan putusan vonis pada Budihardjo dan Nurlaela, kemarin, yang terlihat tergesa-gesa, tanpa ada pengeras suara, menunjukkan ada gelagat tidak sehat dari proses persidangan. Majelis hakim tidak sedikitpun mempertimbangkan materi pembelaan pengacara terdakwa, dan menutup sidang tanpa memberi kesempatan kepada pengacara untuk menyampaikan keberatan.

Pemimpin Redaksi
Jurnalis Senior, Kolumnis

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com