“Politik dan Bisnis Makin Berkelindan, Tidak Ada Lagi Batas Penguasa Pengusaha” (Bagian Terakhir)

Belakangan muncul pengusaha jenis baru yang modalnya hanya kedekatan dengan penguasa karena bisnis mereka terkait dengan konsesi dari negara. Di sisi lain, politik dan bisnis makin berkelindan, tidak ada lagi batas antara penguasa dan pengusaha. Aturan main jadi rusak.

Bincang Bhinneka Membahas Konglomerat

Pebisnis yang muncul di Tanah Air belakangan ini bukan industriawan yang mampu membangun industri manufaktur, yang mempunyai daya saing dan kemampuan inovasi, tetapi karena dekat dengan penguasa. Bisnis mereka berkembang pesat, menguasai aset produktif, bahkan satu perusahaan bisa mendapatkan konsesi hingga 1 juta hektare lahan.

Tidak ada persebaran kepemilikan, tidak ada upaya memperkokoh proporsi rakyat antara lain dengan membangun village enterprise, mengembangkan kekuatan-kekuatan rakyat yang menjadi hakikat dari demokrasi ekonomi, demokratisasi kepemilikan aset.

Mengkritisi masalah-masalah tersebut, Bincang Bhinneka menghadirkan ekonom senior Faisal Basri (FB) dalam sebuah dialog bersama budayawan sekaligus Ketua Umum Gerakan Bhinneka Nasionalis (GBN) Erros Djarot (EDJ). Berikut bagian terakhir dari seluruh perbicangan mengenai ekonomi Indonesia:

EDJ: Orang-orang besar [konglomerat] yang kita dengar namanya, sebetulnya mereka itu yang menurut Mas Faisal mendapatkan kemudahan luar biasa, bahkan fasilitas dan kenyamanan yang bisa dikatakan diberikan secara cuma-cuma. Dia bayar hanya 10 sen dari 1 dolar. Yang 90 [sen] bisa buat beli lagi.

Jadi bagaimana seharusnya pertanggungjawabannya. Penipuan yang dilegitimasi oleh aturan-aturan yang mempunyai payung hukum. Sebagai seorang ekonomi, saya tanya bagaimana caranya kita keluar dari dilema ini?   

FB: Ujung-ujungnya sih politik. Tetapi sebelum ke sana, saya ingin menuntaskan yang tadi. Tadi itu mereka pesta pora dengan bank-nya. Setelah krisis mereka segar kembali, utang-utangnya ditanggung pemerintah. Sampai sekarang pemerintah masih membayar bunga BLBI-nya.

Sekarang apa? Sebagian dari mereka bertransformasi, kemudian muncul kelompok pengusaha baru yang memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa. Jadi dia tidak punya daya saing, tidak punya kemampuan industri, industriawan. Dia bukan datang dari … .

EDJ: Contohnya Adaro, bisa gak masuk di situ?

FB: Kalau Adaro, dia dari kalangan profesional, Boy Tohir dan yang Astra itu. Mereka berhasil di Astra dan segala macam, kemudian mereka keluar membangun usaha, jadi bukan industriawan, mereka dari kelompok profesional.

Mereka dapat jalan. Tetapi bukan mereka saja, juga kelompok pengusaha nasional yang dekat dengan partai atau punya partai atau tokoh partai, pokoknya ada partainya. Ada purnawirawan juga di situ, ada macam-macam. Masa selama ini gua gak dapat, kata mereka. Kasih gua konsesi. Maka mulailah datang itu konsesi batu bara. Mereka dapat konsesi sawit. Tentu saja mereka tidak mempunyai uang, mereka kerja sama dengan existing, entah pengusaha dari latar belakang manapun, pokoknya yang sudah eksis.

Jadi muncullah pengusaha-pengusaha jenis baru ini yang modalnya cuma satu kedekatan dengan penguasa karena bisnis mereka terkait dengan konsesi dari negara. Jadi yang muncul bukan industriawan bikin pabrik handphone yang tidak butuh konsesi. Tapi nikel, batu bara, sawit yang butuh konsesi negara.

Sementara itu, politik dan bisnis makin berkelindan begitu, jadi tidak ada lagi batas antara penguasa dan pengusaha. Itulah yang terjadi semakin rusak aturan main dan mereka tidak punya daya saing, kemampuan inovasi. Tidak perlu pakai otak. Yang perlu adalah keringat dan otot.   

EDJ: Dari fakta yang diutarakan, fakta lapangan, ada bahayanya kalau saya perhatikan dari sisi politik. Saya amati ini bahaya. Dulu Pak Harto juga memberikan hal yang sama tetapi mengontrol mereka terutama dari etnis tertentu untuk tidak masuk ke wilayah politik.

Sekarang ini bahayanya mereka yang diberi kemudahan itu uangnya sebegitu besar dari hasil itu mereka pun masuk ke wilayah politik.  Jadi korporasi yang mereka kuasai ini masuk ke wilayah politik dan kita kenal dengan sebutan oligarki. 

Menurut mas Faisal, apakah kita minta secara tegas kepada siapapun presidennya, sekarang atau yang akan datang, bahwa siapapun yang melanggar amanat Pasal 33 UUD 45 adalah tindakan yang perlu dipertanggungjawabkan secara hukum. Bisa gak ini menjadi salah satu solusi?

FB: Harusnya bisa tapi ada satu yang di remang-remang. Makanya, di dalam pemerintah menyadari itu, UU konflik kepentingan. Sebetulnya gak boleh yang namanya penguasa atau di dalam pemerintah itu usaha, gak boleh. Faktanya dibiarkan.

Jelas-jelas, saya beri contoh Pak Moeldoko dan Pak Luhut, mereka yang bikin kebijakan tentang subsidi mobil listrik, sepeda motor listrik.

EDJ: Sebentar, kalau Pak Moeldoko saya gak tahu. Pak Luhut sudah jelas-jelas bilang tidak ada bisnis saya. Bahkan dalam sidang kasus pencemaran nama baik yang menimpa Haris Azhar, Pak Luhut jelas-jelas mengatakan bahwa tidak ada keterlibatan dirinya dalam bisnis-bisnis seperti itu. Bagaimana itu?

FB: Tidak ada keterlibatan langsung. Makanya UU konflik kepentingan atau syarat menjadi komisaris BUMN itu tidak boleh sampai berapa tingkat gitu. Ya dia tidak usaha tapi dia punya kelompok usaha yang namanya Toba Grup. Di Toba Grup ada yang terkait dengan produksi sepeda motor.

Boleh saja dia mengatakan itu tetapi dia declare dong, oke saya punya konflik kepentingan, saya tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan. Yang gitu-gitu. Ada jalan keluarnya.

Misalnya, saya punya saham. Boleh saja orang punya saham. Tapi kalau sudah jadi pejabat, saham itu harus dititipkan ke lembaga amanah yang dia tidak ngutak ngatik, karena dia punya informasi semua. Makanya diatur. Ini tidak ada aturannya.

Misalnya, boleh gak Menteri BUMN jadi ketua umum PSSI? Boleh saja, tidak ada yang melarang. Tapi dia menguasai dan bertanggung jawab pada ratusan BUMN masih ngurusin sepak bola, pantas gak?

EDJ: He he he he

FB: Parah sekali. Dan dia punya klub sepakbola, ketua umum sepakbola, pejabat, masya Allah. Itu orang yang tidak berakhlak menurut saya. Dimana-mana bicara pakai akhlak terus. Jadi inilah yang dipertontonkan terus.

EDJ: Pesannya, kita tidak ada yang personal ya. Jadi begini, kita berdua kan di tim reformasi hukum.  Mungkin juga karena tidak ada sanksinya selama ini. Presiden seenaknya aja melanggar ini, juga para menteri. Mungkin dari Pak Mahfud [Menkopolhukam] kita ada tugas baru bagaimana mendesain tata laksana dan juga ada sanksinya, apakah dia eselon satu, dua, tiga, sampai presiden pun kalau secara terang-terangan melanggar Pasal 33 UUD 45 harus berhadapan dengan hukum. Bagaimana tanggapan mas Faisal dan sebagai closing statement sekaligus?

FB: Dalam rapat terakhir, di slide pertama saya menekankan tentang Pasal 33 UUD 45 Ayat 3 Bumi air dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Pasal 4 Demokrasi Ekonomi. Jadi ada yang namanya persebaran kepemilikan aset-aset produktif. Tidak pantas satu perusahaan menguasai 1 juta hektare.  Mengapa kita tidak memperkokoh proporsi rakyat, village enterprise, kita bangun kekuatan-kekuatan rakyat. Itu hakikatnya dari demokrasi ekonomi, demokratisasi kepemilikan aset.

Nah kemudian kita coba. Dulu negara yang menguasai hampir semua kekayaan alam ini. Tidak apa-apa swasta mengelolanya tetapi tetap negara harus menjamin. Contohnya, saya sudah bicara kepada beberapa menteri, bahkan ke Pak Luhut sekalipun sudah saya sampaikan, di negara-negara lain itu, ada perang Ukraina menyebabkan harga batu bara naik 10 kali lipat, kan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kemakmuran pengusaha batu baru.

Ada instrumen yang negara punya. Negara itu kuat, negara itu seperti raksasa, negara bisa memobilisasi tentara, memobilisasi polisi, bisa menangkap kita lewat jaksa, dan segala macam. Negara itu kuat.

Negara itu kok memperlemah dirinya, tidak menggunakan instrumen yang dimiliki oleh negara seperti di negara-negara lain, Australia, Amerika Serikat, dan Eropa mengenakan yang namanya pajak durian runtuh.

Ini kan durian runtuh.  Bayangkan tiba-tiba Rp850 triliun pendapatan mereka dari ekspor batu bara saja. Nol pemerintah tidak mengambil tambahnya. Sedihnya, kalau rakyat dipajaki terus.  Maksud saya, sawit, kalau di batu bara tidak ada rakyatnya, tidak ada UKMnya. Di sawit ada ratusan ribu petani. Setiap petani mengekspor CPO dikenakan dua jenis pajak, jahat negara ini.

Petani dikenakan pajak ekspor dan bea sawit. Pajaknya ini sebagian larinya ke pengusaha-pengusaha biofuel. Ini yang menyebabkan kesenjangan.

EDJ: Kan ada subsidi, kalau gak salah Wilmar Group, dari sawit untuk biofuel, tapi keuntungan untuk rakyat hanya 6-7 persen.

FB: 4 Persen yang lari ke rakyat. Sebanyak 74,4 persen lari ke korporasi, segelintir orang.

EDJ: Masih banyak sebenarnya yang mau kita bahas. Tapi karena waktu membatasi. Saya juga sedih sekali. Dulu kita bisa [menunjuk] kontraktor siapa pun bikin pabrik, jalan tol, kita bilang nanti kita bayar dengan nikel, batu bara, tapi sekarang gak bisa karena batu baranya sudah dikuasai korporasi.

Nah itulah yang kita hadapi. Kenapa negara lemah, seperti sudah dijelaskan tadi, karena negara sudah dikuasai oleh para oligarki, diperkuat oleh mafia konstitusi yang memperkuat eksistensi mereka sehingga sampai hari ini negara kita masih terpenjara oleh kepentingan para oligarki ini.

FB: Mudah-mudahan kita bisa mengharapkan sedikit, syukur-syukur banyak dari tim yang kita ikut di dalamnya.

EDJ: Saya setuju, kita mulai memikirkan lagi supremasi hukum. Kalau supremasi hukum dan hukumnya sudah dibeli, terpenjara oleh kepentingan kaum oligarki ini maka apa yang dinamakan supremasi hukum sebetulnya memberikan kedaulatan kita semua kepada kaum oligarki.

Semua hukum, perangkatnya, aparatnya, perundangan-undangannya semua sudah mereka kuasai. Nah mudah-mudah salah satu dari problem mendasar dari Pasal 33 bisa kita tegakkan kembali bersama teman-teman yang ada di tim reformasi hukum di komisi 1, 2, 3, dan 4 yang sekarang sedang dijalankan oleh Menkopolhukam.

Mohon doanya, tetap semangat dan, satu, musuh kita bukan siapa-siapa. Ternyata kaum oligarki inilah yang sekarang harus kita cermati secara baik dan secara bersama, rakyat harus Bersatu, kita tegakkan hukum yang sesungguhnya dan mudah-mudahan Indonesia bisa betul-betul merdeka.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com